Antara Kutukan dan Cattenaccio Mou
Di tribun kehormatan stadion Mestalla milik kesebelasan Valencia, Raja Spanyol Juan Carlos dan Ratu Sofia terlihat bertepuk sumringah. Namun kegembiraan itu seperti tertahan gejolaknya di hadapan pendukung Barcelona yang tertunduk lesu karena tim kebanggaan orang-orang Katalunya itu ditaklukkan tandukan CR7, bomber kesebelasan ibukota yang sangat berambisi menekuk Barcelona.
Azulgrana adalah klub sepakbola terbaik dunia yang sedang lara. Tim yang permainannya begitu indah dan penuh dengan sentuhan magis sepakbola modern mendadak merana akibat gol manis yang berhasil disarangkan Ronaldo dari umpan silang Angel di Maria. Gol itu langsung membunuh kecemerlangan Barca selama ini. Madridista merasa lega karena gol tunggal itu cukup untuk melunasi kemalangan yang mereka derita sejak dipermalukan 5-0 di Camp Nou. Inilah partai final dan gol tunggal mantan maskot Manchester United itu adalah imbalan sahih demi kembalinya trofi Raja Spanyol ke Santiago Bernabeu.
Mourinho segera kembali ke tampuk singgasananya sebagai pelatih terbaik di dunia saat ini. Dia menjadi semacam tokoh notorious bagi Pep Guardiola yang langsung mati akal begitu Madrid menjadi sangat fasih memainkan sistem pertahanan gerendel, persis seperti yang dimainkan Inter Milan tahun silam dimana Azulgrana terpaksa kehilangan mahkota Eropa dan nelangsa membiarkan hati merana hingga akhir musim.
Mourinho adalah pengatur strategi yang meskipun tak sebrilian agresivitas Rinus Michels tetaplah dibutuhkan oleh klub kaya macam Real yang sudah terlanjur jor-joran membeli pemain-pemain papan atas dari segala penjuru bumi ini. Mou yang kontroversial itu sangat mahfum bagaimana menekuk Barca yang superior itu. Suka atau tak suka, dia adalah pria flamboyan yang fenomenal. Pelatih modern yang melengkapi kepelatihannya dengan belasan staf yang padu dan sangat canggih memanfaatkan referensi dan analisis seputar antropologi sepakbola.
Mou hanyalah putra seorang kiper Portugal yang tak pernah menjadi atlet sepakbola terkenal macam Frans Beckenbauer, Johann Cruijff, Diego Maradona, Mario Zagalo, Carlo Ancelotti, Frank Rijkaard dan Pep Guardiola. Intelektualitasnya mengorbitkan dirinya bak meteor yang dimulai sejak era sebagai penerjemah Bobby Robson dan asisten Louis van Gaal di Barca. Dia tetaplah pria hangat yang begitu dibenci Ferguson saat timnya dipecundangi di Old Trafford sehingga meloloskan Porto ke final dan mempersembahkan trofi supremasi Eropa pertama bagi dirinya. Dia meledek Rafael Benitez sebagai bagian dari psy-war-nya di Liga Inggris. Itu juga diterapkannya pada Frank Rijkaard yang sebenarnya berpembawaan kalem. Sekarang, masih dengan guyon satir ala Muhammad Ali, Pep akhirnya menjadi korban kepiawaiannya mempermainkan faktor psikologis yang berakibat pada hasil akhir pertandingan. El Clasico jilid dua di Metsala Valencia itu adalah buktinya. Presiden Real Fio Perez boleh lega untuk hasil sementara pencapaian Real musim ini, meskipun pencinta sepakbola benci melihat strategi cattenacio Mou yang selalu dibawanya demi mempertahankan keunggulan.
Mou adalah pelatih spesialis trofi, kata legenda hidup Barca, Johann Cruijff. Karenanya Mou barangkali bisa dikatakan satu dari sangat sedikit pelatih profesional dengan asisten dan belasan kru yang mendukungnya dari belakang. Mou pelatih profesional yang seolah membuktikan bahwa tak perlu sentuhan dan pengalaman seperti para pelatih besar yang bekas atlet sepakbola terkenal yang telah disebutkan tadi. Dia merengkuh atmosfir itu dalam keseriusan dan kepaduan kru dirinya. Organisasi kepelatihannya itulah yang membuat Mou punya cukup waktu untuk dekat dengan kru lain, alias para pesepakbola yang menentukan di lapangan. Meskipun dia belum sebanding agresivitasnya dengan Rinus Michels atau Erns Happl yang juga sekaligus menghibur pencinta sepakbola hingga akhir hayat mereka. Bagaimana Mou ketika menangani Chelsea berhasil mempencundangi Barca yang kala itu dilatih Rijkaard di ajang Champions. Atau bagaimana dia menyindir pelatih senior Arsenal sebagai belum pantas bersaing di papan atas liga Inggris karena hanya ada Chelsea yang selalu dikejar Manu.
Seperti membalik bioritmik, Mou segera mengembalikan Real pada standar kemenangan begitu Piala Raja telah mereka renggut. Tadinya orang-orang mengira Real hanya sekejap menikmati euforia kemenangan apalagi saat bek serang Real, Sergio Ramos, tanpa sengaja menjatuhkan Piala Raja yang tengah diacungkannya ke arah pencinta Real di atas bus doubledecker yang membawa seluruh pemain Real berparade keliling kota. Lepas dari tangan Ramos, trofi hancur berkeping dihajar ban belakang bus. Karena sepakbola juga kadangkala jadi mirip klenik, maka ada yang mulai menghubungkan peristiwa itu dengan kutukan dan pertanda keruntuhan kembali.
Minggu dinihari lalu dalam lanjutan La Liga, Real membuktikan bahwa kutukan Piala Raja hanya gosip sesaat saja. Lewat hattrick Gonzalo Higuain, Real kembali ke Mestalla dan membungkam tuan rumah Valencia dengan angka ajaib 6-3. Sementara di Nou Camp, Barcelona dengan susah payah akhirnya mampu mengalahkan Osasuna dengan gol dari David Villa dan Lionel Messi.
Dunia sepakbola selalu menyajikan budidaya dan nalar para peracik strateginya. Meskipun bermain negatif demi trofi kebanggaan, sejauh ini Mou telah mengubah motivasi karakter anak-anak Real. Dan yang penting, mampukah el Clasico jilid tiga menjadi ajang kebangkitan Real di rumahnya yang angker, Estadio Bernabeu? Atau ikut hancur berantakan bersama trofi sang Raja yang dilindas ban belakang bus tingkat yang dipenuhi sorak eforia anak-anak Real?
Oscar Motuloh
penikmat sepakbola, kurator GFJA
Foto REUTERS/Felix Ordonez
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 26/04/2011 10:56