Tenggelamnya Kapal Galacticos
Berakhir sudah dua kali empat puluh lima menit yang paling dinanti pencinta sepakbola sejagad. El Derbi Espanol alias El Clasico, namanya. Sesungguhnya dia hanyalah secuplik episode laga dari La Liga, divisi utama sepakbola kerajaan Spanyol. Namun, sejak 13 Mei 1902, ketegangan tensi tinggi selalu menjadi warna yang mencuat setiap kali tim kebanggaan ibukota bertarung melawan seteru abadi mereka, Blaugrana Barcelona. Duel yang tentu juga sarat aroma politiknya. Betapa tidak, El Clasico keburu dicap sebagai repesentasi kekuatan royalis versus pemberontaknya.
"El Clasico hanyalah pertandingan biasa dalam primera," kata Josep "Pep" Guardiola pada pers sebelum laga akbar itu berlangsung. Pernyataan yang jelas-jelas terucapkan mewakili hati yang tertekan. Pers menyorot duel taktik di antara dua figur sepakbola yang paling prestius di muka bumi saat ini. Tokoh satunya tentulah ada dalam diri Jose Mourinho, pria asal Setubal, negri jirannya Spanyol. Pelatih jenial yang menyebut dirinya "the Special One". Mou, begitu dia biasa disapa, adalah Muhammad Ali-nya sepakbola. Magnet baru dunia sepakbola yang membuat olahraga paling populer di dunia itu menjadi lebih semarak.
Kembali ke laptop. El Clasico yang dimulai dengan tempo tinggi itu akhirnya usai dengan anti-klimaks bagi tim tuan rumah yang sebelum laga lebih diunggulkan, baik oleh pers, pengamat sepakbola dan rumah taruhan. William Hill, misalnya, mengunggulkan Real Madrid. Di kuil sepakbolanya orang Kastilia, Estadio Santiago Bernabeu, gemuruh fans Real membahana hanya sekejap usai kick-off. Tepatnya 21 detik. Berawal dari kesalahan kiper Barca Victor Valdes. Bola yang dilepasnya jatuh di kaki gelandang Real asal Jerman, Mezut Oezil. Dengan spontan dia mengirim tendangan voli yang berubah arah setelah mengenai hadangan kaki Sergio Busquetz. Bola liar itu disambar Angel di Maria sebagai umpan manis ke Karim Benzema yang berdiri bebas di depan gawang Valdez. Sambil melompat ala Eric Cantona saat melakukan "tendangan kungfu"-nya, Benzema mengirim bola ke jala Valdez. Stadion megah itu ibarat runtuh oleh decak pekik dan aplaus puluhan ribu freakers-nya Los Galcticos. Semua pemain Real berpelukan dengan sumringah, mereka melambai ke arah suara gemuruh stadion yang membahana bak letusan gunung Etna. Valdez terduduk sambil mengelengkan kepalanya. Begitu juga Pep yang termangu di bench. Yang aneh, Mou tak meluapkan meluapkan emosi kegirangan seperti biasanya. Wajahnya tetap tegang, rambutnya yang mulai memutih dibiarkannya berantakan mirip style Albert Eistein. Gol cepat itu seperti diyakininya bakal melecut semangat anak-anak Barca.
Pasukan Pep, tentu tak disiapkan untuk pembunuhan secepat itu. Namun sejak gol malapetaka itu, Xavi Hernandez, Andres Iniesta yang dikabarkan cedera, serta Lionel Messi yang beroperasi sedikit di bawah garis gelandang, malah tampak begitu dingin dan tenang melanjutkan laga dengan tegar. Di belakang, Busquetz-Gerard Pique-Dani Alves-Eric Abidal-Carles Puyol dengan santai mengolah bola dengan gaya atlet sirkus, ber-tiki-taka di antara penyerang Real yang berusaha mencocor atau mencuri bola. Mereka sama sekali tak panik, dan bermain seperti belum terjadi gol. Kepaduan itu menggentarkan anak-anak Real, khususnya di sektor gelandang. Lengah sekelebatan mata saja, bola direbut tim blaugrana yang bermain dengan motivasi dan determinasi yang demikian tinggi dan penuh disiplin. Perlahan tapi pasti, taktik penguasaan bola dalam pola 4-3-3 nya Barca mulai menuai hasil. Apalagi yang tak terduga, Pep memasukkan Alexis Sanchez di sayap kiri menggantikan posisi David Villa. Karakter sayap destroyer yang mirip gaya Gennaro Gattuso di AC Milan seperti ada dalam dirinya. Dengan determinasi yang kuat dia mulai mengganggu konsentrasi para bek Real yang berada di dekatnya. Pepe dan Sergio Ramos mulai terpancing emosinya. Bahkan tak berapa lama kemudian playmaker kesayangan Mou, Xabi Alonso terkena kartu kuning. Real semakin goyah, lapangan tengah dikuasai anak-anak Barca.
Di depan, CR7, melepas beberapa peluang matang. Tampak sekali dia berambisi mencetak gol sendirian ketimbang mengatur ritme penyerangan seperti yang sukses diperankan Messi dalam El Clasico kali ini. Egonya seperti sulit diredam, sehingga para penjaga benteng pertahanan Barca agak mudah mengendalikannya. Akhirnya waktu sampai juga pada momentum dimana secara menakjubkan, Messi berlari dari lapangan tengah, menggocek seterunya, menarik gelandang-gelandang ke arahnya. Dengan licin dia berhasil melampaui lawan dan saat sliding Alonso coba dilakukan untuk menghentikannya, bola keburu dilepasnya ke arah Alexis yang menyambut dengan kawalan ketat Ramos dan Marcelo, tepat pada menit 29:15 tembakan silangnya yang dalam dengan kencang menyusur rumput ke tiang jauh Casillas. Meskipun kiper tangguh Real itu sempat membaca gerak bola, namun refleksnya tak cukup untuk memotong bola, kalah cepat dengan bola yang di kirim Alexis. Kondisi berimbang. Blaugrana tetap mempertahankan tempo tinggi dan faktor Alexis menjadi kunci yang mematikan taktik Mou.
Setelah turun minum, kelas Blaugrana semakin tampak. Setiap Alexis, Xavi, Iniesta dan tentu Messi menguasai bola, berarti neraka tiba-tiba dirasakan bagi anak-anak Real. Kedigdayaan Real dalam 12 partai sebelumnya tak muncul dipermukaan. Triumviraat Barca, Messi-Xavi dan Iniesta, menjadi kekuatan yang membuat Xabi dan sejawatnya benar-benar keteteran. Barca menguasai permainan. Di bench, wajah Pep mulai sumringah, sementara Mou, semakin tegang. Dia merasakan perjuangan anak-anak Real telah berada di ujung jalan. Gol kedua adalah cermin dari chaos-nya jiwa Real. Dari tendangan keras Xavi Hernandez di luar garis penalti, bola meluncur deras, Marcelo berusaha melerai bola, apa lacur, arahnya mendadak berbelok ke ujung kanan gawang Casillas yang gagal untuk menghentikannya. Bola masuk setelah menyenggol tiang jauh. Kali ini Casillas yang geleng-geleng. Marcelo bunuh diri pada menit 52:26. Selanjutnya neraka bagi Real. Mereka tidak lagi mampu keluar dari tekanan. Status diunggulkan mulai memakan korban. Kepercayaan diri anak-anak Los Galacticos hancur berantakan.
Serangan anak-anak Catalonia datang bak gelombang air bah. Pelanggaran demi pelanggaran terpaksa dilakukan para bek Real. Hanya Fabio Contreao yang luput, Pepe-Marcelo-Ramos, menyusul Xabi menerima kartu kuning mereka. Triumviraat Blaugrana terus menggedor. Lagi-lagi Messi menjadi kreator Barca, dengan lincah dia melejit di antara gelandang Barca masuk ke jantung pertahanan Real, sebelum melepas umpan matang ke Dani Alves yang segera melempar tembakan silang yang dengan jitu ditanduk Cesc Fabregas sambil menjatuhkan diri. Sejak gol indah pada menit 65:22 itu, pasukan putih-putih dari ibukota Spanyol tersebut praktis sudah sekarat. Tak ada lagi determinasi, dalam sisa waktu yang ada sulit rasanya mengejar defisit 2 gol. Tiga menit kemudian Mou melakukan upaya terakhirnya. Dia menarik Di Maria yang bermain di bawah form, dan memasukan Gonzalo Higuain ke lapangan sehingga Los Galacticos menurunkan trisula striker sekaligus. Benzema-CR7-Higuain untuk membalas defisit. Sayang keputusan itu sudah kadung kasip. Trisula tersebut mandul, karena suplai bola dari lapangan tengah tak kunjung sampai pada kaki mereka. Mendung seperti menggelayut di hati mereka, Los Galcticos harus takluk di stadion keramat mereka. Tidak tanggung-tanggung. Real 1-3 Barca.
Gelontoran uang untuk mengkoleksi pemain jadi adalah upaya yang menjadi topik negatif di Inggris dengan Manchester City dan tentu di Spanyol setiap Fiorentino Perez menjadi presiden klub. Era manisnya bersama Vicente del Bosque yang mempersembahkan dua trofi Champions tentu berbeda dengan squad Real saat ini. Los Galcticos ternyata masih klub yang kekurangan motivasi seni bermain. Sejarah pemain Real, kecuali yang tertanam pada diri Iker Cassilas (seperti juga Raul Gonzales ketika itu), adalah seperti serdadu bayaran. Mereka bermain hanya demi nilai ekonomi. Bandingkan dengan Barca yang memiliki slogan "Més que un club" (lebih dari sekadar klub), yang menjadikan Nou Camp sebagai "rumah" yang sesungguhnya bagi para pemain yang dilahirkan dari akademi usia dini mereka. Puyol-Messi-Iniesta-Xavi-Busquet-Pedro-Fabregas-Valdez adalah anak kandung Barcelona. Uang bukan segalanya, tak ada motivasi asli yang muncul dari jiwa kapitalistik yang hanya terdiri dari jantung dan hati statistik yang berisi deret ukur harta dan kemewahan. Jika mereka hanya bermain demi itu semua, masih adakah seni yang bisa kita nikmati dengan jujur dari altar sakral bernama sepakbola nan indah?
oscar motuloh
kurator GFJA dan penikmat sepakbola
Foto: Karim Benzema, Real Madrid (Antara/Reuters/Susana Vera)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 11/12/2011 17:23