Kacamata Kuda Sang Keledai
Tak ada "el clasico" di Fussbal Arena pada final Liga Champions Mei mendatang, karena Pep Guardiola, sang entrenador Barcelona, akhirnya terperosok ke lubang yang sama. Pola super agresif 3-4-3 yang dipilihnya hanya menjebak anak-anak "Los Azulgrana" di labirin penuh gerendel yang dijaga sebelas singa "Earl of Cadogan" dengan gagah perkasa dan disiplin juang yang sungguh luar biasa. Mereka bertarung dengan hati seperti singa jantan yang menjadi logo kesebelasan kebanggaan London itu dan melekat di dada kiri pada kostum setiap pemain Chelsea. Mereka jatuh bangun menahan serangan, meski sejak penghujung babak pertama Chelsea hanya bermain dengan sepuluh pemain, gara-gara kapten John Terry, komandan para singa itu, diusir wasit Cüneyt Çakir dari Turki karena lepas emosi mendengkul dengan sengaja Alexis Sanhez, penyerang berbahaya Barca.
Walapun tanpa sang kapten, jiwa Terry ternyata masih tertinggal di lapangan hijau, berpadu dengan determinasi anak-anak Chelsea yang berjuang menggantang mimpi mereka yang tinggal sejengkal lagi menuju partai final. Roberto Di Matteo, pelatih "cool" Chelsea, datang ke markas "Blaugrana" di Camp Nou, dengan tiga poin di tangan. Dia akhirnya memutuskan untuk memoles agar skema "London" dapat bertahan lebih lama di Barcelona dan mempertahankan kemenangan yang sudah dalam genggaman itu. Sesederhana itu mungkin filosofi Di Matteo seperti pola 4-3-2-1 yang dipilihnya, karena belum ada cara lain yang dapat meredam kecanggihan permainan dari tim kebanggaan orang-orang Katalunya itu.
Pep sendiri pasti menebak keputusan Di Matteo untuk kembali memainkan sepakbola "super-gembok" itu, karenanya dia tak ingin mengulangi kesalahan saat Barca digulung Real, musuh bebuyutannya dalam "el clasico" di Camp Nou, Minggu dinihari silam. Dia kembali pada komposisi pemain yang normal dan memilih pola 3-4-3 yang super ofensif itu. Lalu semuanya seperti berjalan lancar. Penguasaan bola Barca yang mencapai 75 persen babak pertama, dan 73 persen babak kedua memperlihatkan dominasi itu. Sampai gol Sergio Busquets dan tembakan keren Andres Iniesta setelah mendapat assist jenial dari Lionel Messi, tampaknya Barca akan melenggang ke final. Namun keunggulan sementara 2-0 bukanlah kemenangan. Ramirez kemudian berhasil mencuri gol, melalui bola yang lepas dari hadangan Busquets dan menceploskannya dengan cerdik ke gawang Victor Valdez. Sejak itu Pep sadar bahwa semuanya menjadi tak mudah.
Lalu tibalah momentum kehancuran Barcelona yang bermula di menit awal babak kedua saat Alexis dicocor di dalam kotak penalti. Lionel Messi yang menjadi algojo gagal mengeksekusi peluang platinum gara-gara tembakannya menyentuh mistar Peter Cech yang bermain sangat cemerlang pada laga sepenting itu. Sejak itu, Barca tampak terpukul dan seperti tertuntun masuk ke perangkap yang ada pada diri mereka sendiri. Mampukah mereka menjebol gerendel yang kali ini lebih canggih ketimbang gembok manapun yang pernah menjepit mereka sebelumnya? Waktu terus bergeser, Pep mulai terlihat panik di bench, membuka cardigan-nya dan menyerocos terus sepanjang pertandingan. Sebaliknya Di Matteo terlihat santai dan menikmati permainan dari bangku cadangan, sebelum menarik Juan Mata yang agak protes pergantian dirinya, lalu mengirim Fernando Torres ke lapangan yang dari gol ciptaannya pada penghujung laga, akhirnya mengubur sedalam-dalamnya ambisi Pep untuk membawa tim asuhannya menuju final. Barca 2, Chelsea 2.
Rabu dinihari itu menjadi momen yang teramat menyedihkan bagi Barca dan sepakbola menyerang yang diusungnya. Meskipun pencinta Barca tetap memberi dukungan dan tak beranjak dari tempat duduk mereka di stadion yang megah itu, duka tak tersembunyikan dari wajah Pep dan segenap anggota Barca. Dua kekalahan berturut-turut dan satu hasil seri yang juga bermakna kekalahan, menjadi tanda runtuhnya dominasi Barcelona dari belantara sepakbola planet bumi yang dikuasainya dengan mutlak. Kini terjawab sudah pertanyaan "sampai kapan emporium sepakbola Barcelona akan bertahan?" Maka saat Carles Puyol yang terkenal tangguh itu terlentang seraya menutup wajah dengan kedua tangannya di bawah mistar gawang Victor Valdez yang masih terbengong dengan gol Torres, maka sejak itu pula sesungguhnya Barca binasa. Karena era sepakbola indah ala Los Azulgrana pun bakal cukup sampai di sini. Dan sepakbola akan meneruskan misterinya.
oscar motuloh
kurator GFJA, penikmat sepakbola
Foto: Penyerang Barcelona Lionel Messi tertunduk saat Fernando Torres menjebol gawang Victor Valdes dalam laga leg kedua semifinal Liga Champions di Camp Nou, Barcelona, 24 April 2012 (Antara/Reuters/Albert Gea)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 25/04/2012 12:54