Final Para Pelanduk

Akhirnya sepakbola memberikan jawaban atas misteri yang selama ini konon memihak para raksasa yang berkuasa di kancah Eropa. Di stadion megah yang menggunakan nama mantan striker Real Madrid, Santiago Bernabeu, Kamis dinihari, misteri itu diungkapkan oleh tembakan terarah Bastian Schweinsteiger yang menjadi algojo penentu pada partai semifinal leg kedua Liga Champions yang harus disudahi dengan drama adu penalti. Iker Casillas kiper tangguh yang menjadi kapten tuan rumah Real Madrid terkecoh, dia melayang ke arah tiang gawang, berlawanan dengan arah bola Schweinsteiger. Padahal Iker baru saja menggagalkan dua tembakan algojo Munich, Toni Croos dan kapten Philip Lahm, yang membuat syaraf semakin tegang. Gerak lambat kamera pertandingan menyambut gol kemenangan itu juga dilakukan dengan mengambil sudut lensa dari arah belakang jaring yang memperlihatkan puluhan ribu kilatan flash kamera saku yang bersambutan di tribun stadion kebanggaan Madridnista yang dibangun pada 1944 dan memiliki kapasitas 81.254 tempat duduk itu.

Gol Schweinsteiger sontak membuyarkan mimpi raksasa Spanyol yang sangat difavoritkan memenangi laga penting itu, sekaligus membungkam mulut besar pelatihnya, Jose Mourinho, yang mengatakan pada pers usai kekalahan Real pada leg pertama sepekan silam di markas Munich, Fussball Arena. "Kami akan kembali ke Munich di partai final," ujar Mou dengan wajah penuh percaya diri. Setelah pertarungan 120 menit yang sangat melelahkan namun berlangsung dalam tempo dan tingkat ketegangan yang tinggi, maka wasit Viktor Kassai asal Hungaria memberi aba-aba untuk beristirahat sejenak sebelum drama adu penalti dilaksanakan. Real tetap favorit memenangi tahap ini karena mereka memiliki Iker Casillas, kiper kelas dunia yang sangat tangguh dalam drama adu penalti. Namun para Madridista lupa bahwa statistik drama adu yang menegangkan itu hanya bisa disudahi jika Munich punya kiper yang lebih hebat dari Casillas. Lalu sejarah kemudian menguakkan misteri itu.

Manuel Neuer adalah sang misteri. Pria berusia 26 tahun kelahiran Gelsenkirchen dengan tinggi ideal (194 cm) itu adalah kiper timnas Jerman sekarang. Meskipun ditaksir abis oleh Alex Ferguson untuk mengisi posisi Edwin Van Der Sar tempo hari, Neuer tetap kalah pamor dengan Casillas yang saat ini tercatat sebagai kiper terbaik dunia setelah Gigi Buffon beranjak tua dan mulai menurun performanya. Padahal kita tahu, kiper Jerman umumnya adalah pengawal gawang paling bernyali dalam drama adu penalti, katakan sejak Sepp Meier, Andreas Koepke, Oliver Kahn, atau Bodo Ilgner yang kebetulan pernah membela Real. Dengan penampilan tenang sebagaimana karakter bangsa Jerman, Neuer tak terlalu kelihatan bahkan sejak leg pertama di gelar di kandang mereka, Allianz Arena. Bayangkan siapa nyana, bintang Real yang tengah naik daun Cristiano Ronaldo, yang tampak begitu yakin saat mengambil ancang-ancang sebagai algojo pertama, toh terbaca dengan tepat tembakannya yang menyusur ke tiang kanan dimana Neuer terbang menepisnya.

Algojo berikutnya adalah Ricardo Kaka yang kemudian juga bernasib sama. Tembakannya yang lemah berhasil diblok Neuer dengan jitu. Untungnya Iker juga cemerlang. Meski ketinggalan dua gol, dengan tenang kiper tangguh ini berhasil juga memblok berturut-turut dua tembakan dari Toni Kroos dan kapten Munich Philip Lahm. Akhirnya takdir Real ditentukan saat bek serang Sergio Ramos menjadi algojo. Melihat ketangguhan Neuer sebelumnya, Ramos tampak ragu-ragu dan ingin mengamankan bola ke mistar atas dengan pertimbangan Neuer tak kuasa menahannya, namun apa lacur bola justru melayang tinggi jauh di atas jala Neuer. Suatu eksekusi penalti yang amat ceroboh dan membuka peluang Schweinsteiger untuk meruntuhkan semua mitos dan keinginan penggila sepakbola sejagad yang mengharapkan ada partai "el clasico" dalam partai final di Munich nanti. Saat bola Schweinsteiger dalam gerak lambat masuk menyentuh jala, maka lengkap sudah keajaiban sepakbola. Dua underdog yang hanya dilirik sebelah mata, nyatanya kini justru akan saling berhadapan dalam "final para pelanduk" untuk membuktikan siapa di antara mereka yang lebih cerdik. Tepat pada saat eforia meledak di kubu Munich, Mou buru-buru beranjak meninggalkan arena tanpa menghampiri Jupp Heynckes untuk memberinya ucapan selamat.

Industri sepakbola masa kini adalah materialistik mutlak. Mereka perlu pelatih yang juga jagoan PR macam Mou, dikombinasi dengan pemain arogan macam Ronaldo yang begitu jumawa di lapangan hijau. Kehebatan Xabi Alonso yang menjadi otak serangan Real atau Mesut Oezil dan Sami Khedira yang sama-sama cool sebenarnya menjadi tumpuan Real, namun keberadaan mereka tenggelam oleh gaya selebritas Ronaldo yang begitu flamboyan dan seperti mengharap semua cahaya hanya untuk dirinya. Belum lagi nasib Neuer yang seolah hanya ditakdirkan sibuk memungut bola yang menyerocos masuk ke jala yang dijaganya. Semua itu terlihat saat Real sudah unggul dua kosong sampai menit ke-14 oleh kelihaian teknis Ronaldo. Lalu perlahan tapi pasti tampil talenta jenial macam David Alaba yang masih remaja, Jerome Boateng, Luis Gustavo, Toni Kroos ditunjang senior Philip Lahm dan tentu Schweinsteiger, yang meskipun tugasnya menjaga pertahanan, namun justru yang membuat tim sekelas Real kacau balau dibuatnya. Setiap serangan terbangun dari para pemain belakang itu. Termasuk yang berbuah penalti saat Mario Gomez dijatuhkan di kotak berbahaya, pada menit ke-27, karena umpan Kross oleh Pepe dan Ramos dianggap berpotensi membuahkan gol. Penalti Arjen Robben yang nyaris digagalkan oleh posisi Casillas itulah yang membuat agregat menjadi 3-3, dan sejak itu Real seperti terkunci untuk melakukan serangan mematikan seperti yang biasa mereka lakukan melawan tim anggota Primera.

Dua puluh empat jam yang lalu, ditambah periode perpanjangan waktu, plus waktu pelaksanaan adu penalti tadi, publik stadion Camp Nou juga menangis karena tim kebanggaan orang-orang Katalunya, "Los Azulgrana", yang juga sangat difavoritkan, tersungkur oleh kegigihan anak-anak Chelsea yang meskipun bermain dengan pola "super cattenaccio" toh berhasil melaju ke final Liga Champions yang bakal digelar di markas Bayern Munich 19 Mei mendatang. Tapi laga Real vs Munich yang ini berbeda dengan taktik Chelsea yang memilih bermain sepakbola di garis pertahanannya sendiri. Munich tampil dengan taktik yang mengejutkan Real. Pelatih Heynckes datang dengan taktik khas Jerman pada era PD II yang dikenal dengan "blitzkrieg". Serangan kilat hanya dapat dilakukan sedini mungkin, dan terbangun dari mekanisme perencanaan dari daerah pertahanannya sendiri. Heynckes melakukannya untuk dua motivasi penting, yang pertama karena partai final berlangsung di markas mereka di Fussball Arena, yang kedua (mungkin) karena Heynckes perlu menunaikan revanche atas pemecatan semena-mena yang dilakukan Real pada dirinya meskipun pada setahun periode dia memimpin Los Blancos (1997/1998) dia berhasil mempersembahkan kembali trofi Champions setelah tigapuluh dua tahun ke lemari koleksi klub raksasa itu. Pelatih berusia 66 tahun itu juga terlihat gembira saat Arjen Robben yang juga dibuang Real, berhasil menyarangkan gol melalui titik penalti.

Setelah satu gol balasan itulah, anak-anak Bayern berhasil menguasai Santiago Bernabeu, serangan silih berganti membuat Mou harus mengkambing hitamkan jadwal "el clasico" orisinal yang menjadi biang kekalahan timnya, karena baru empat hari sebelum laga vs Munich, mereka harus bermain mati-matian di Camp Nou. Real sesungguhnya memang pantas tak berada di final kali ini. Kekalahan Real atas taktik Heynckes yang lebih jitu itu membuyarkan ambisi Mou yang menyebut dirinya "the Special One", untuk menuntaskan obsesi pribadinya menjadi pelatih pertama di Liga Champions yang memenangi trofi untuk tiga klub yang berbeda. Saat Mou teringat eforia Inter Milan usai menekuk Bayern Munich yang saat itu ditangani Louis van Gaal, kini Heynckes malah berpeluang untuk menyamai prestasi Mou memperoleh dua trofi untuk dua klub yang berbeda, sama dengan raihan Ottmar Hitzfeld dan juga Ernst Happl yang tak lagi mungkin bersaing dengan Mou karena mereka telah pensiun.

Industri sepakbola memang kejam, setelah Mou terbenam karena melihat kesedihan anak asuhannya yang begitu mengharukan, termasuk Ronaldo yang sangat terpukul karena dihujat oleh penggemar Real akibat kegagalannya sebagai eksekutor pertama dalam drama adu penalti semalam. Prestasi cemerlang Ronaldo yang dikaisnya selama ini seolah terhapuskan hanya dalam satu tendangan yang keliru. Barca kemarin juga mengalami hal yang sama, orang tak lagi perduli dengan pencapaiannya yang sangat luarbiasa, mereka hanya tak terima kenapa Chelsea yang secemen itu cara bermainnya, tak berhasil mereka atasi. Untung Pep adalah pelatih cool, dengan santai dia berkata, mari kita bangun lagi semuanya untuk meraih yang hilang sekarang, tahun depan. Karena sepakbola juga adalah sebentuk permainan, maka sebaiknya Mou juga belajar pada Heynckes, bahwa tak semua obsesi harus direbut. Heynckes sangat fokus pada Liga Champions, sehingga dia mengorbankan Bundesliga yang diraih Borussia Dortmund yang memang lebih superior secara domestik. Jika sekarang dia beroleh buah yang dia tuai, maka tak pernah ada yang abadi dalam industri sepakbola ini. Heynckes lalu memberi penawarnya pada kita, bahwa partai final di markas Munich nanti dijamin pasti tetap indah, karena Bayern Munich selalu memainkan sepakbola indah seperti yang mereka perlihatkan di Madrid. Artinya sepakbola indah masih ada untuk kehidupan.

oscar motuloh
kurator GFJA, penikmat sepakbola

Foto: Cristiano Ronaldo (kanan) saat mengeksekusi tendangan penalti namun digagalkan oleh kiper Bayern Munich Manuel Neuer leg kedua semifinal Liga Champions di stadion Santiago Bernabeu, Madrid, 25 April 2012. (Antara/REUTERS/Sergio Perez)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 26/04/2012 23:19