Balada Tiga Singa Ompong
Genap sudah empat tim gladiator sepakbola Benua Biru yang bakal berjibaku dalam semifinal Piala Eropa 2012 usai laga "super boring" di babak perdelapan final yang mempertemukan Inggris versus Italia di Stadion Olympic Kiev, Senin dinihari. Italia lolos dari lubang jarum karena unggul adu penalti, setelah 120 menit kedua tim yang memainkan sepakbola negatif itu bermain kacamata alias seri tanpa gol.
Tak ada yang patut dibanggakan dari kedua tim, apalagi Inggris yang memainkan pola "sangat takut kalah", ketimbang "berani menang". Tak pula ada hiburan dan improvisasi, apalagi "magis", dari laga yang melibatkan nama besar macam Steven Gerrard, John Terry, Wayne Rooney, Mario Balotelli dan Antonio Cassano. Untung kedua kiper, Gigi Buffon dan Joe Hart, bermain cemerlang dan Andrea Pirlo mempersembahkan penalti ala Panenka.
Pelatih Cesare Prandelli tak mengubah taktik untuk memenangkan duel dalam waktu normal. Begitu pula Roy Hodgson, yang kita kenal menerapkan pola serupa kala melatih tim medioker liga utama Inggris, Fulham, atas timnas Tiga Singa yang sungguh tak bergigi. Dibanding saat memenangkan duel versus Swedia, melalui permainan yang terbuka yang inspiratif, Inggris begitu melempem menghapi Italia yang meskipun tak istimewa namun melakukan serangan yang lebih berbahaya. Kegentaran Inggris akan kekalahan menyakitkan di waktu normal, malah dimelarkan dengan memaksakan adu penalti yang akhirnya memakan dirinya sendiri.
Jika adu penalti macam final Piala Champions antara AC Milan dan Liverpool tentulah menarik karena pertarungan normalnya berlangsung begitu dramatis. Milan unggul duluan sampai tiga gol kemudian dikejar Pool hingga 3-3. Bayangkan 6 gol yang tercipta. Lalu terjadilah adu penalti itu. Kali ini, di level timnas, Inggris ternyata bermain tanpa hati. Rooney dan penggerak serangan gelandang elegan Gerrard benar-benar mati angin. Inggris kehilangan jati dirinya karena bermain tanpa roh dan jiwa.
Meskipun penembak kedua Italia dalam adu penalti, Riccardo Montolivo, melenceng tembakannya, namun reputasi Gigi Buffon rupanya menakutkan para algojo Inggris, sehingga keunggulan itu tak mampu mereka pertahankan. Ashley Young gagal melaksanakan tugasnya sementara Ashley Cole menjadi pecundang Inggris karena bolanya dengan mudah disergap Buffon yang sangat kawakan di persoalan adu penalti ini. Lalu nasib Inggris ditentukan oleh debutan dari Bologna, Alessandro Diamanti, yang menaklukan Joe Hart.
Stadion meledak oleh bahana gemuruh fans Gli Azzuri yang mengelukan Buffon, Diamanti dan sekaligus melambungkan Andrea Pirlo karena "chop" ala Panenka yang dilakukannya mulus melambung pelan ke gawang Hart yang terperanjat dan hanya dengan kecewa melihat bola perlahan masuk ke gawangnya.
Pirlo yang menjadi penembak ketiga berjalan santai menuju titik putih. Hart bersiap sambil melompat-lompat di tengah gawang. Pirlo berlari kecil dengan kaki kanan yang seolah akan menendang kencang. Sang playmaker Italia yang bermain cemerlang sepanjang laga yang melelahkan itu malah mencukil bola dengan kaki dalam. Di tengah lapangan, para pemain Italia yang menyaksikan adegan itu hanya menggeleng-gelengkan kepala tanda kagum atas keberanian Pirlo menggunakan gaya Panenka dalam adegan segenting itu.
Pirlo menafsir kembali gaya penalti Antonin Panenka, gelandang serang timnas Cekoslowakia yang menaklukan kiper Jerbar juara dunia 1974, Sepp Maier yang legendaris, untuk meraih Piala Eropa 1976 pertama bagi negaranya. Gaya cukil yang sama sekali belum pernah dilakukan sebelumnya dalam eksekusi penalti itu kemudian diadopsi dari namanya.
Panenka adalah gelandang legendaris Rep Ceska (ketika itu masih bernama Cekoslowakia) yang melatih tembakan itu saat masih bergabung dengan klub Bohemian Praha bersama kiper Zdenek Hruska. Biar seru, mereka sering bertaruh sebatang coklat atau segelas bir dingin. Pria yang kini berusia 63 tahun ini dalam wawancara dengan UEFA.com menceritakan inspirasi melatih tembakan itu karena setiap penalti, kiper selalu meloncat ke sudut gawang. Jadi dia memikirkan cara termudah menaklukan kiper, yaitu dengan melakukan teknik cukil yang saat dilakukan sesungguhnya terlambat sepersekian detik sementara kaki terlihat telah menyentuh bol. Itu yang membuat kiper keburu meloncat dan tak mungkin memutar arah tubuhnya, sehingga arah bola akan masuk melambung dengan mulus ke tengah jala kiper.
Panenka ala Pirlo jelas telah membuat Tiga Singa, yang mengaum dan mencakarkan kukunya dengan ganas saat menaklukkan Swedia, hanya secarik emblem yang dijahitkan di bagian dada dari kostum setiap pemain timnas Inggris yang tak berdaya di laga perdelapan final itu. Tiga Singa yang tertempel di dada mereka hanyalah lambang biasa, sebagaimana kostum yang diperjual-belikan di gang senggol Jembatan Lima sana.
"Young Lions" yang diasuh Hodgson pada laga ini benar-benar ompong. Mereka tak menyala semangatnya macam tim Panzer yang benar-benar melibatkan hati setiap kali bertanding. Tuntutan profesional sebagai anggota timnas seharusnya mewajibkan mereka menjadi abdi bangsa yang ditugasi menginspirasi para "sokkagoers" melalui sepakbola seperti timnas pada masa Paul Gascoigne saat dilatih Bobby Robson di Piala Dunia 1990 Italia.
Usainya babak perdelapan final Piala Eropa kali menyimpulkan bahwa kualitas timnas yang lolos mewakili grup A (Rep Ceska dan Yunani) namun kemudian tersingkir, masih lebih baik ketimbang dua timnas yang kemudian gugur mewakili grup D (Prancis dan Inggris). Inggris, akhirnya harus pergi seperti Prancis. Mereka harus pulang kandang di Wembley yang angker itu. Di sana barangkali Roy Hodgson dan anak-anak Tiga Singa bisa melakukan kontemplasi dan menjadi lebih ganas di kompetisi berikutnya yang lebih prestisius lagi, Piala Dunia 2014 di Brasil nun jauh di sana. Jika tak mampu juga menjadi buas dan mematikan, kiranya cukuplah tuan Hodgson menjadikan singa-singa muda Inggris itu menjadi sekelompok sirkus yang menghibur dan menginspirasi penontonnya.
oscar motuloh
Foto: Pemain Inggris Ashley Young (ke-5 kiri) dihibur rekan setimnya Glen Johnson setelah gagal mengeksekusi dalam adu pinalti pada laga perempatfinal Piala Eropa 2012 melawan Italia di Olympic Stadium, Kiev (24/6). (Reuters/Gleb Garanich)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 26/06/2012 06:47