Imperium Angkara Merah

Akhirnya sejarah baru tercatat di Olympic Stadium Kiev yang megah usai laga final Piala Eropa 2012 yang sangat menghibur, pada Senin dinihari. Di stadion milik klub elite Ukraina, Dynamo Kiev tersebut, "La Furia Roja" atau "Sang Angkara Merah", julukan bagi timnas Spanyol, berhasil menjadi satu-satunya timnas yang mampu mempertahankan gelar sebagai Raja Benua Biru sejak kejuaraan ini pertama kali digelar pada tahun 1960. Rekor Spanyol tersebut serta merta menghanguskan statistik yang sebelumnya merendahkan kemampuan mereka sekaligus membungkam para pengamat, juga pers yang meragukan strategi enam gelandang (False Nine) yang digunakan Vicente del Bosque sepanjang turnamen Euro 2012 ini berlangsung.

Dengan efektivitas dan disiplin yang tinggi, anak-anak matador menafsir pola yang diinginkan del Bosque dengan elegan. Pola ini, sesungguhnya adalah fondasi totaal voetbaal yang diterapkan mendiang Rinus Michels pada tim Oranye 1974 dan 1988 yang legendaris itu. Laga yang tersedia bagi anak-anak Spanyol adalah pada malam final itu, tak ada waktu lain. "Its Now or Never", dendang Elvis Presley. Piala Eropa berikutnya masih empat tahun lagi. Dengan motivasi yang tinggi, tim Matador mengamuk, setelah sedikit beradaptasi. Mereka memuntahkan murkanya atas para pahlawan Azzuri yang masih mabuk kemenangan setelah mewujudkan misi yang seolah mustahil, mengalahkan Der Panzer di partai semifinal tempo hari. Italia sesungguhnya juga berlaga dengan berani, mereka tak lagi gemar menumpuk pemain di kotak penalti. Di bawah Prandelli, Gli Azzuri punya sejumlah variasi serangan yang mematikan.

Namun final ini tak di bawah langit biru dan strategi Prandelli buntu. Spanyol ternyata lebih siap. Mereka sedang menuju puncak permainan, sementara Italia sedang menuruni bukit curam setelah mencapai klimaksnya pada malam semifinal yang dahsyat. Mereka mengubah langit biru menjadi merah membara yang bakal gemerlap oleh pesta kembang api di ujung pesta.

Tak tanggung-tanggung Gli Azzuri akhirnya dipermalukan dengan amat sangat. Kiper terbaik dunia meskipun kini berusia 34 tahun, Gigi Buffon, yang ingin menutup penampilannya bersama timnas Italia dengan prestasi hebat, hanya bisa gigit jari karena reputasinya lebur binasa. Bayangkan, kiper sekelas Buffon, dalam laga final harus memungut bola sebanyak empat kali dari jala gawang yang dikawalnya, tanpa satupun yang mampu diselamatkannya. Sundulan David Silva yang mematikan, sentuhan terobosan Jordi Alba yang sangat akurat, juga Fernando Torres yang mencetak gol pada menit ke 83:58. Tiga menit setelah masuk lapangan menggantikan Fabregas, Torres mencetak gol ke-3 itu lalu satu assist luar biasa kepada Juan Mata yang masuk menggantikan Iniesta pada menit ke-85, mengelabui Buffon yang hanya bisa geleng-geleng mengingat defisit golnya.

Langit biru seolah runtuh di pundak anak-anak Italia begitu wasit Pedro Coenca asal Portugal meniup peluit panjang tanda kehancuran Gli Azzuri dengan skor yang memalukan. Balotelli, Pirlo, de Rossi, Montolivo, Ballzaretti, dan sejumlah rekannya terpekur dan menatap langit dengan mata berkaca. Bonucci bahkan menangis tersedu-sedu hingga akhir upacara penyerahan trofi di podium. Sebagai kapten, Buffon harus terlihat tegar, karena sebentar lagi dia harus memimpin sahabat-sahabatnya yang selama sebulan ini menjadi seperti keluarga naik ke podium untuk menerima pengalungan medali runner-up yang disematkan Presiden UEFA, Michel Platini.

Lalu terjadilah pemandangan yang sportif. Para pemain Spanyol membentuk dua barigade pagar betis lalu mengelukan rombongan Buffon sesaat akan naik ke tribun. Mereka menyalami dan memegang rambut Buffon dan anak-anak Italia yang berbaris di belakangnya. Fans kedua tim pun bertepuk membahana melihat kejadian tersebut. Buffon seketika tampak sumringah melihat empati anak-anak Matador yang bertindak sungguh simpatik itu. Laga keras dan saling bunuh itu lenyap tak berbekas. Bukankah sepakbola ini adalah permainan belaka? Kalah menang adalah karakter yang akan diterima para pihak yang berani mengambil resiko, seperti anak-anak Prandelli, meskipun mereka hancur. Footage inilah yang membuat sepakbola tetap mencitrakan sportivitas sebagai sokoguru peradaban kemanusiaan.

Saat tim La Furia Roja naik podium kehormatan untuk penganugerahan medali dan trofi Piala Eropa yang berhasil mereka pertahankan, Pirlo, Balotelli, de Rossi, Balzaretti, Maggio menyaksikan itu dari lapangan hijau dengan mata berkaca. Namun wajah mereka kini memperlihatkan kebesaran hati untuk menerima kekalahan sebagai motivasi. Prandelli justru memperlihatkan bahwa dia adalah pemimpin sejati. Wajahnya tak menyiratkan kekalahan. Dia sadar hakekat sepakbola sebagai filsafat kehidupan. Dia memeluk Buffon yang menyandarkan kepalanya pada bahu sang pelatih yang selama turnamen tak lagi mengagungkan prinsip "cattenaccio". Prandelli telah mengumumkan pada khalayak sepakbola dunia bahwa apapun yang mereka capai saat ini merupakan prestasi besar. Spanyol ternyata bermain jauh lebih berkembang ketimbang mereka dan berhasil memperlihatkan jati diri sebentuk tim yang punya nyali dan mental juara.

Koleksi trofi dan medali kemenangan tak lagi menjadi inti setelah penganugerahannya. Polandia dan Ukraina boleh berbangga karena sejak laga perdana digelar, pesta sepakbola ini telah menyihir dunia untuk membangun peradaban yang lebih baik. Meskipun persoalan rasisme dan kekerasan masih sempat merebak, namun dua gol Balotelli ke gawang Neuer, telah membungkam para vandalisme ras tersebut. Balotelli barangkali dapatlah disandingkan dengan Jesse Owens yang mempermalukan Adolf Hitler melalui medali-medali emas yang dia raih pada Olimpiade Berlin yang sangat rasis itu. Dari Gdanks sampai Donetsk, dari Laur Baltik dan laut Hitam, pesan perdamaian dan semangat apresiasi yang menjadi inti dari sportivitas tampaknya telah mewabah ke seluruh penjuru bumi yang bisa menyaksikan siara-siaran langsungnya. Satu persatu lampu stadion dipadamkan, penontonpun berbondong meninggalkan stadion untuk merayakan kemenangan di tempat lain. Pintu satu demi satu ditutup. Pesta harus berakhir. Selamat datang realita setelah sebulan tertenung sepakbola.

oscar motuloh

Foto: Para pemain Spanyol merayakan kemenangan mereka atas Italia usai laga final Piala Eropa di stadion Olympic, Kiev (1/7/2012). (Reuters/Juan Medina)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 03/07/2012 08:46