Kisah Petualangan KM Antara

Sementara media dan pakar politik di seantero negeri masih cas-cis-cus menganalisis kemenangan Jokowi-Ahok yang mengejutkan, kita telah disuguhi reality show tentang bagaimana keampuhan kampanye low budget-nya Jokowi-Ahok yang dengan gemilang berhasil menggelindingkan dagangan politik mereka yang bernama "perubahan". Padahal sejak sukses mengusung Barry Obama masuk Gedung Putih dan juga SBY periode kedua, jualan "perubahan" bukanlah bisnis politik yang baru lagi. Fakta di jalanan memperlihatkan bagaimana lagu lama itu tetap bisa dikemas kembali dengan canggih. Mirip seperti yang dilakukan musikus David Foster kala mendaur-ulang tembang lawas Nat King Cole yang jasadnya telah tiada namun "dihadirkan" bersanding dengan putri kesayangannya Natalie Cole. Kecanggihan teknologi menghadirkan duet mustahil itu hadir di panggung secara live. Jadilah komposisi “Unforgetable” itu benar-benar tak terlupakan. Jejaknya menginspirasi musisi lainnya bahkan hingga detik ini.

Kubu politik Jokowi-Ahok dengan cerdas berhasil melemparkan isu perubahan itu sebagai inspirasi ajektif yang mampir di hati anak muda Jakarta yang berpendidikan, kreatif dan tentu yang anti kemapanan. Mari tengok dan nikmati polesan nada hip-hop yang beredar di YouTube dengan irama jenaka itu. Parodi musikal yang dibuat dengan serius tersebut adalah kreasi para pemuda yang menjadi relawan duet kotak-kotak yang menjadi simbol Jokowi-Ahok. Bagai jamur di musim hujan, kreasi lain terus bermunculan. Ada game tentang penyelamatan Jakarta dan tersedia juga beragam gadget lain yang nantinya bakal menjadi memorabilia perihal kemenangan demokrasi pilgub Jakarta yang sungguh khas. Mereka memaksimalisasi jaringan dunia maya dan perangkat modern lainnya sebagai alat perlawanan yang khas anak muda dan terbukti kelak, meruntuhkan kastil angkuh sang petahana Jakarta satu dan tim suksesnya yang sungguh tak mampu membaca jaman.

Anak muda adalah generasi penguasa waktu. Suara dari sektor vital itulah yang gagal diraih, karena Foke sudah kepalang tercitra sebagai petahana arogan yang pro status-quo. Meskipun semua biro dagang hitung cepat yang memihaknya tergelepar pada putaran pertama, tapi di ronde kedua kastil Foke-Nara naik lagi nyalinya, karena dibela belasan partai gurem serta lima partai besar yang ramai-ramai menghampirinya dengan centil. Merasa belum cukup, tim petahana mengajak sang peri cantik bernama SARA untuk ikut dalam barisan pemukulnya. Suatu cara primitif yang hanya menghasilkan blunder politik yang terbentangkan dalam cakrawala Jakarta yang sungguh pelangi masyarakatnya. Rasanya anak muda pendamba perubahan pastilah enggan memasukkan suaranya untuk sang petahana apalagi yang notabene telah mengingkari perubahan yang diusungnya lima tahun silam. Sementara sang pemenang dan fans club-nya, bolehlah bereforia dan berhura-hura sejenak. Tapi hati-hati, janji perubahan adalah sumpah yang terlanjur terucapkan.

Seiring dengan bergulirnya waktu yang memburu janji perubahan dengan saksama, kampanye dengan kata "perubahan" hakikinya dapat dengan cepat berubah menjadi tired-word yang senasib dengan kata "orde baru", "pencitraan" dan "reformasi". Istilah dan isme tentu tak bersalah, namun para pendomplengnya adalah subyek oportunis yang paling bertanggung jawab atas apapun akibat yang diperasnya dari semboyan perubahan, adjektif yang paling diminati penggunaannya dalam kampanye pemilihan apapun. Termasuk yang dipakai dalam belantara suksesi kepemimpinan Kantor Berita Antara yang beberapa saat ke depan dijadwalkan bakal memiliki direksi baru.

Lima tahun silam, ikrar perubahan juga dikumandangkan nyaring-nyaring oleh para direksi Kantor Berita Antara dalam melayarkan kapal motornya dengan antusiasme tinggi. Kapal kayu yang telah direnovasi namun sarat penumpang itu, maunya sih, melintasi samudera kompetisi global seraya mengibarkan panji jurnalistik di seberang benua internasional sana. Sayangnya, dalam pelayarannya, ternyata kapal tak diperlengkapi dengan kompas dan peta jalur yang jelas. Belum lagi timbul masalah lain, yakni para dewan nakhoda tak sama persepsinya menatap ufuk biru di garis fatamorgana. Anggota dewan masing-masing punya ego yang dibiarkan menjadi tuan atas kebijakan cetak biru perusahaan. Jadilah kapal kayu lusuh itu hanya mampu berlayar berputar-putar di gelombang perairan yang sama selama lima tahun berturut-turut. Sementara pengeras suara di anjungan dengan nyaring terus menyuarakan bahwa perusahaan telah meraih prestasi ini dan prestise itu.

Selama perjalanan itu pula konsumsi bahan bakar subsidi negara yang berjumlah sekitar 340-an milyar rupiah habis terpakai hanya untuk melayarkan KM Antara kembali ke pelabuhan pemberangkatan dengan kecepatan yang tak lebih laju dari gerakan undur-undur di Teluk Jakarta. Sektor pengembangan bisnis setali tiga uang, alias nyaris tak terdengar hasilnya dan pasak tetap lebih dari tiang realitanya. Jadilah destinasi nun jauh di seberang sana tak pernah tergapai. Kantor berita kelas dunia? Au ah gelap. Kan tak cukup dengan sertifikasi ISO belaka? Yang jelas, prestise internasional tak mungkin diharapkan dari menggebunya cara menggarap PSO seperti sekarang ini. Beragam imaji gemerlap di langit fatamorgana sana adalah tipu mata yang menjerumuskan dewan nakhoda dalam memperlakukan seperti apa PSO dan bisnis kantor berita harusnya diberdayakan.

Sekarang lintasan menuju ke gerbang syahbandar kota tertutup kabut tebal yang sulit dilihat oleh mata telanjang. Awak kapal dan pekerja hanya bisa berhimpitan di palka yang dipenuhi cerita bisnis menara gading yang "wah" dan flamboyan, serta wacana-wacana berita PSO yang tidak pernah diimprovisasi bentuknya dalam lima tahun pelayarannya. Tak ada upaya kreatif yang dapat mereka putuskan agar PSO yang merupakan sedekah dari pemerintah tersebut bisa dimodifikasi menjadi pencapaian profesi yang mencerminkan adikarya jurnalistik Indonesia seperti yang pernah dicapai oleh jajaran redaksi Antara pada masa perjuangan fisik tempo doeloe yang selalu dibangga-banggakan.

Ketika KM Antara akhirnya berhasil merapat ke pelabuhan penghabisan, ternyata bukan awaknya yang di-refresh dengan rupa-rupa kiat yang direvisi dari evaluasi kegagalan agar nanti pelayaran berikutnya dapat meraih tujuannya. Malahan, sejumlah dewan nakhoda ramai-ramai turun untuk ikutan registrasi kontes sebagai kandidat nakhoda utama kapal kayu yang masih dianggap sexy bagi insan-insan Antara yang saking ambisiusnya sampai ada yang harus bergerilya ke rupa-rupa instansi demi mendapatkan dukungan jabatan. Mirip gaya partisan orang-orang parpol yang gelisah di penghujung masa jabatannya. Suatu fenomena yang amat menyedihkan dalam sistem kepemimpinan instansi profesi pers seperti Kantor Berita Antara yang dahulu menelorkan begitu banyak wartawan kawakan elegan yang berintegritas tinggi.

Pencapaian dalam dunia kewartawanan tidaklah nisbi. Komitmen, karya dan integritas adalah semacam dialektikanya dunia jurnalistik. Ketiga elemen itulah yang saling menguji sehingga karakter dan reputasi sang wartawan akan terbentuk, termasuk yang kelak menjadi pemimpin yang sungguh-sungguh berwawasan perubahan. Jalan panjang membentang. Karir memang harus dilalui setiap insan pers khususnya di Kantor Berita Antara sebagai pengabdiannya kepada perusahaan dan kepada khalayak sidang pemirsa. Pencapaian dalam dunia pers tak pernah hanya terhembuskan melalui jargon indah penuh pencitraan serta bisnis retorika mimpi di siang bolong. Apalagi mereka yang hanya punya kecakapan menggombal wacana proyek-proyek jurnalisme luar angkasa yang tak berbekas sedikitpun jejaknya. Lima tahun adalah waktu yang cukup bagi rakyat Antara untuk bersabar.

Sebentar lagi kita akan mensaksamai keputusan Kementerian BUMN dalam menentukan direksi baru Antara. Apakah aspirasi rakyat Antara yang dijadikan pertimbangan suksesi yang bernilai perubahan?

Atau malah kontra produktif karena keputusan hanya diambil dari masukan kepentingan segelintir petualang jabatan di Antara yang hanya mengail di air keruh demi kedudukan jangka pendek. Meskipun Kantor Berita Antara hanya dilirik sebelah mata oleh Kementerian, namun alangkah eloknya jika dalam pengambilan keputusan yang amat penting bagi masa depan kantor berita Indonesia ini, pihak Kementerian juga turba demi memperoleh data yang sahih. Sinyalemen Menteri BUMN Dahlan Iskan yang menyebutkan bahwa terhambatnya kebanyakan perum adalah karena direksinya tak kompak tentunya juga menjadi perhatian kita semua dalam menanti pengambilan keputusan yang amat vital bagi bahtera Antara yang baru nanti. Karena tak ada legacy yang tertorehkan dari rezim Antara lima tahun kemarin, maka tak pernah boleh lagi ada dua matahari dalam tata surya Bima Sakti kita. Lalu kemana sang perubahan itu sekarang pergi? Mestinya ikut tercurahkan di saluran pembuangan akhir di lokasi jamban masing-masing nun jauh di dasar samudra sana.

oscar motuloh
pewarta Antara

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 06/10/2012 11:43