Dari Mata-Telinga Untuk Jiwa Rimba Kita

Di tengah rupa-rupa tragedi pembunuhan orangutan Nusantara yang marak belakangan ini, masih menyeruak upaya anak-anak muda yang mencoba menyuarakan gugatan atas rimba raya Borneo yang pelan-pelan berubah wajah menjadi koloni ladang sawit yang berkilau karena gemerincing gemerlap dolar.

Mereka, anak-anak muda itu, mengusung tinggi-tinggi penyelamatan orangutan sebagai simbol pelestarian peradaban alam belantara raya kita. Rimba yang semakin sempit terkepung oleh penebangan besar-besaran, pembalakan liar, industri tambang dan tentu korporasi ladang sawit tadi, yang digadang para pemilik modal demi keuntungan finansial belaka.

Kondisi begini membuat hutan raya kita sangat menderita karena berlangsungnya degradasi keanekaragaman hayati yang merubah siklus kehidupan, termasuk masyarakat tradisional di sekitarnya, yang sangat menggantungkan hidup mereka pada keberadaan belantara hutan hujan tropis tersebut.

Hutan rimba yang hakikinya sangat dibanggakan guru-guru kita saat mengajar kelas-kelas sekolah dasar, kini tak lagi seindah warna aslinya. Setting alam dalam komik Wiro Anak Rimba yang legendaris itu, sekarang tinggal kenangan yang cuma menjadi artefak peradaban kapitalistis yang semata-mata hanya memperkaya individu dan kelompoknya.

Di belantara Kalimantan, apalagi di rimba Sumatra yang menjadi habitat terakhir orangutan, sekarang tinggal menyisakan kepasrahan yang mengiangkan-ngiangkan rintihan kematian yang merengut satu demi satu nyawa mereka, di tangan-tangan insan manusia yang semakin gelojoh darahnya untuk beberapa lembar digit rupiah saja. Habitat orangutan tanah Andalas (pongo abelii) semakin kritis, kini mereka makin terdesak ke utara Sumatra termasuk Taman Nasional Leuser, Aceh. Pada tahun 1990-an jumlah mereka ditaksir masih 12.000 jiwa, sekarang jumlahnya ditaksir maksimal tinggal 5.000 jiwa saja dengan wilayah seluas 900.000 hektar. Itu berarti kurang dari dua dasawarsa, populasi orangutan telah berkurang sebanyak 80 persen.

Kera besar alias orangutan tampaknya tinggal menunggu waktu saja untuk menyusul kepunahan burung dodo dan bersiap bakal dipajang di museum fauna masa silam bersama fosil trex, dinosaurus dan senjata api yang dipakai untuk membunuh Chico Mendez, aktivis lingkungan rimba Amazon.

Padahal mawas, sebutan lawas untuk orangutan (pongo pygmaeus), adalah primata cerdas yang memiliki kedekatan karakter sensitivitas dengan umat manusia secara tingkat kesamaan DNA. Mereka adalah penabur benih rejuvenasi hutan secara alamiah, dari sisa-sisa biji-bijian yang mereka makan. Ancaman punahnya spesies kerabesar yang amat langka ini, artinya membiarkan musnahnya ratusan spesies tanaman, hewan serta ekosistem hutan hujan tropis kita, sementara di tembok beton dan baja-baja megapolitan sana, orangutan masih terus diekspoitasi, dipelihara sebagai sirkus keluarga, mungkin oleh para pejabat, atau para pengusaha yang kelihatannya terhormat tapi sama sekali tak lagi pernah lagi mengacu pada etika dan kehormatan peradaban dalam pengelolaan rimba raya kita.

Dalam satu dekade terakhir, versi wwf.org, paling tidak terdapat 1,2 juta ha setiap tahunnya kawasan hutan di Indonesia digunakan untuk aktivitas-aktivitas penebangan berskala besar, pembalakan liar, serta konversi hutan untuk pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pemukiman. Selama 20 tahun terakhir, habitat orangutan Borneo berkurang paling tidak sekitar 55 persen. Kebakaran hutan serta perdagangan fauna juga menjadi penyebab utama yang ikut menjadi faktor penting terjadinya penurunan drastis populasi orangutan Indonesia.

Permintaan pasar gelap internasional atas bayi orangutan meskipun spesies ini jelas-jelas sangat terlarang diperjualbelikan, tetap saja masih terus terjadi. Untuk memenuhi permintaan pasar, maka anak orangutan harus dipisahkan dari induknya dengan cara membunuhnya. Padahal kita tahu pertumbuhan anak orangutan sangat bergantung pada asuhan induknya yang merawat anak-anaknya bak pinang dibelah dua dengan cara manusia merawat buah hati mereka.

Para petani di lahan sebelah juga tak sedikit yang membasmi orangutan padahal mereka terdesak untuk masuk ke permukiman petani karena makanan alamiah mereka semakin langka di diperoleh dalam habitat hutan mereka yang kian sempit. Banyaknya orangutan yang menderita sakit, anak-anak yang kehilangan induk, maka sejumlah pusat rehabilitasi didirikan untuk merawat mereka. Termasuk BOSF (Borneo Orangutan Survival Foundation) yang menjadi mitra sekaligus sumber berita visual pewarta foto Regina Safri yang akrab dipanggil Rere dalam reportasenya di Kalimantan Tengah dan Timur.

Sebagai seorang pewarta foto muda, Rere melakukan reportase personal dengan tabungan pribadi di belantara Kutai Timur, tinggal bersama sejumlah relawan BOSF yang melakukan persiapan hingga pelepasliaran kembali orangutan yang mereka rawat dari sumber manapun ke habitat mereka yang saat ini semakin terkepung ladang-ladang sawit yang maju terus terus dengan agresif.

Koloni imperium sawit menurut data Friends of the Earth-Netherlands pada tahun 2004 saja telah mencapai lebih dari 5,3 juta ha. Jadi jangan terperanjat, jika Indonesia saat ini adalah produsen minyak kelapa terbesar nomor dua di dunia!

Sementara itu kelompok grunge dari Bali, Navicula, Blues Libre, Dave Syauta & Kusni Kasdut asal Bandung juga mengusung kampanye penyelamatan primata cerdas ini sebagai simbol pelestarian hutan belantara kita yang perlahan tapi pasti akan lenyap dan tak lagi ramah sebagai rumah bagi aneka ragam spesies fauna dan flora Nusantara yang dahulu sangat tersohor namanya di seantero bumi. Mereka mengawal panji cinta, perdamaian, kemajemukan, lingkungan dan kebebasan itu akan mendonasikan konser rock orangutan mereka untuk peluncuran buku dan pameran foto amal "ORANGUTAN: Rhyme and Blues", di Galeri Foto Jurnalistik Antara.

Rere, Navicula, Blues Libre, Dave Syauta & Kusni Kasdut, dengan energi mereka, meneriakkan "klik" nada-nada peringatan bagi umat manusia betapa rumah orangutan dan habitatnya semakin tergerus oleh hutan ekonomi yang tak lagi manusiawi dan beradab.

Melalui lensa Regina, pekik musik cadas dan blues, penderitaan orangutan dapatlah disimak sebagai perlambang paradoksal peradaban manusia yang sakit. Imaji dan jeritan mereka mungkin hanyalah semacam lagu EGP (emang gue pikirin) bagi mereka-mereka, para pengambil keputusan, yang menetap jauh di peradaban mesin cosmopolis di belantara beton pencakar matahari dalam jantung ibukota yang wangi semerbak. Barangkali, sambil menikmati berita kesengsaraan orangutan lewat layar gadget canggih mereka.

Padahal blues sakratul kepunahan orangutan pada hakekatnya adalah rintihan rimba belantara itu sendiri. Sebentuk perwujudan dari kita, umat manusia yang konon, adalah ciptaan agung Sang Khalik.

Orangutan muda, rumahnya di belantara Dijaga papa dan mama yang kemarin masih ada Kini tiada...
- Navicula
lirik Gede Roby Supriyanto


oscar motuloh
kurator

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 30/09/2012 18:06