Binar Terakhir Sinar Harapan
Kala menginjakkan kaki memasuki ruangan redaksi Harian Sore Sinar Harapan nampak sejumlah redaktur halaman menyusun layout surat kabar yang berisi perjalanan koran konvensional serta serangkaian testimoni dari sejumlah pesohor negeri seperti Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yassona Laoly, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat hingga musisi Elfonda "Once" Mekel. Mereka mondar mandir memeriksa setiap detail tulisan sebelum ditempelkan ke papan berwarna hijau dengan list kuning sepanjang kurang lebih 3 meter. Raut muka mereka terlihat serius dan antusias untuk menyelesaikan edisi akhir tahun Harian Sore Sinar Harapan berisi 16 halaman.
"Kegaduhan Tak Pupuskan Optimisme", demikian headline yang terpampang di halaman utama harian sore Sinar Harapan yang terbit pada edisi akhir tahun 2015 dengan foto headline suasana matahari terbit di kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa tangkapan kamera fotografer Agung Natanael. Setelah layout halaman depan selesai dipasang oleh Pemred Sinar Harapan Rikando Somba disertai dengan membubuhkan tanda tangan berwarna merah di pojok tengan kanan, sayup-sayup terdengar tepuk tangan dan teriakan oleh tim redaksi yang telah susah payah menyelesaikan edisi akhir tahun tersebut. Lantas mereka saling berjabat tangan dan berfoto di depan layout yang telah mereka selesaikan.
Edisi akhir tahun 2015 juga menjadi akhir perjalanan Sinar Harapan sebagai media massa yang mengemban misi kenabian, seperti dikutip dari tulisan mantan Pemimpin Umum LKBN Antara Parni Hadi di salahsatu halaman edisi terakhir Harian Sore Sinar Harapan. "Vivere Pelricoloso" atau "hidup dalam bahaya", yang merupakan idiom terkenal dari sang pendiri bangsa, Soekarno, pada tahun 1964 sebagai judul pidato kenegaraan pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-19, juga digunakan sebagai rubrik pojok kritik Sinar Harapan untuk mengkritik berbagai isu yang sedang terjadi.
Pimpinan Umum sekaligus Dewan Redaksi Sinar Harapan juga tidak lupa menuliskan testimoni kepada pembaca. Pamit, terima kasih dan mohon maaf, tulis dia di halaman muka koran itu. Ini bukan kali pertama Sinar Harapan berhenti terbit. Media yang pertama kali hadir pada 27 April 1961 itu ketika berusia 25 tahun atau tahun 1986 diharuskan tutup oleh pemerintah yang keberatan dengan isi berita yang dikeluarkan oleh media ini, pada tahun 2001, Sinar Harapan kembali hadir. Namun, kini mereka memutuskan kembali mengakhiri kegiatan mulai 1 Januari 2016.
Sinar Harapan merupakan salahsatu media yang terpaksa harus gulung tikar menyusul Harian Bola, Soccer, Jurnal Nasional yang telah lebih dahulu mati serta Jakarta Globe yang memutuskan fokus sebagai media online.
Penutupan media konvensional koran dan majalah juga terjadi di berbagai negera seperti di Amerika Serikat menyusul makin minimnya pemasukan iklan. Sejumlah media di negeri Paman Sam itu harus memutar otak untuk bias mempertahankan eksistensinya di era digital sekarang ini, ada yang harus berganti pemilik untuk mendapatkan investor baru, ada yang mengurangi jumlah cetakan dan lebih konsentrasi di ranah online di dunia maya. Dan yang tidak tahan dengan kondisi suram ini terpaksa harus gulung tikar. Seperti yang dialami majalah berita mingguan Newsweek yang menghentikan edisi cetaknya pada penghujung akhir 2013 silam.
Gelombang penutupan surat kabar konvensional tersebut seolah mengamini pernyataan Pendiri Microsoft Bill Gates pada medio 1990. Dia sempat meramalkan 10 tahun lagi surat kabar cetak akan mati digantikan oleh teknologi surat kabar baru yang berbasis teks elektronik, meskipun satu dasawarsa berselang ia meralat prediksinya, dan menyebut sekira 50 tahun ke depan ramalannya baru akan terwujud.
Menariknya, baru-baru ini Pendiri dan Executive Chairman Alibaba, Jack Ma, berani membuat gebrakan dengan mengakuisisi media massa berbahasa Inggris yang berbasis di Hong Kong, South China Morning Post (SCMP), di tengah maraknya anggapan utama dari sejumlah analis yang meyakini media konvensional akan terus meredup di tengah gempuran media digital yang kian masif dan membawa pengaruh sangat besar bagi perkembangan surat kabar. Media online juga mengubah kebiasaan cara baca di masyarakat seiring dengan hadirnya berbagai media baca yang bervariatif.
Namun, tidak semuanya mencibir langkah Jack Ma, Harian Wall Street Journal (WSJ) misalnya, menganggap bisnis koran masih menjanjikan walaupun mereka sempat mengecilkan ukuran terbitan sebelum kembali ke ukuran awal.
Jadi, apakah media konvensional akan meredup dan berubah menjadi sejarah di lahap oleh media online? Ataukah kepunahan mereka justru disebabkan ketidakmampuan pelaku industri media konvensional yang gagal menghadirkan inovasi dan bermetamorfosis mengikuti zaman serta pembacanya? Hanya waktu yang bisa memberi jawabannya.
Wahyu Putro
Pewarta foto Antara
Pewarta: Wahyu Putro | Editor:
Disiarkan: 08/01/2016 19:59