Status Quo Dalam Kemasan Baru
Pukul 10 pagi, Wahyu Putro, pewarta foto muda Antara, baru saja tiba di ruang redaksi ketika mock-up harian sore Sinar Harapan tengah diperiksa sebelum naik cetak untuk dipublikasikan ke khalayak pembacanya.
Kesibukan khas kantor pers yang terletak di jalan Raden Saleh Jakarta Pusat itu sangat terasa. Namun suasana hari itu sesungguhnya berbeda dibanding rutinitas hari-hari sebelumnya. Di kanan kiri meja kerja wartawannya, tampak kardus-kardus kecoklatan tertumpuk dengan aneka nama dan petunjuk yang dituliskan dengan spidol besar. Seperti siap dipindahkan pemiliknya. Dua jam lagi tenggat waktu akan tiba dan harian - yang terbit pertama kali pada Kamis sore, 27 April 1961 itu – siap naik cetak untuk menemani segenap sidang pembaca sambil menyeruput kopi sore yang kali ini terasa sangat getir.
Pada boks di bawah blok headline "Kegaduhan tak Pupuskan Optimisme" hari Kamis itu, tanggal 31 Desember 2015, manajemen mengucapkan salam perpisahan untuk penghabisan kalinya kepada seluruh pembaca, pemasang iklan, sumber berita, dan segenap kru serta deretan panjang alumnusnya. Sinar Harapan sudah tiada sejak koran edisi terakhir itu tiba di tangan para pembacanya. Harian kritis itu pernah dibredel pada jaman Sukarno (1965) dan dua kali dibunuh rezim Suharto (1973 dan 1978). Dia sempat dihidupkan kembali pada 2 Juli 2001, namun kematian harian yang mottonya "memperjuangkan kekebenaran dan keadilan, kebebasan dan perdamaian berdasarkan kasih" itu kali ini tampaknya akan bersifat abadi, karena jasadnya telah dimakamkan oleh jurnalisme jaman baru.
"Saya merinding sekaligus terharu melihat seluruh kru tetap bekerja dengan penuh semangat untuk menerbitkan dengan apik edisi terakhir Sinar Harapan," komentar Wahyu setibanya kembali di kantor Antara Foto, Pasar Baru, pada petang harinya. Dia membawa selembar koran edisi terakhir yang halaman depannya dipenuhi tanda tangan kru dan sejumlah wartawannya. Tamatnya koran itu menambah panjang deret ukur penerbitan Indonesia yang harus pasrah menerima kematiannya.
Di media lain, sejak awal tahun 2015, grup Kompas Gramedia harus menutup belasan majalah yang diasuhnya, termasuk koran olahraga Bola. Koran Tempo juga menyetop edisi minggunya. Harian berbahasa Inggris Jakarta Globe yang stylish itu, juga tak mampu membendung arus perubahan jurnalisme dan menghentikan penerbitan edisi cetaknya untuk berkonsentrasi dalam format daringnya.
Horor bredel bukanlah hantu yang ditakuti seperti jaman keemasan media cetak dahulu. Generasi baru punya caranya sendiri untuk membaca jurnalistik. Fenomena ini tak hanya melanda jurnalisme kita, tapi juga secara global. Dengan antisipasi yang matang menanggap generasi, toh statistik menunjukkan bahwa sirkulasi 25 koran terbesar di AS mengalami penurunan yang signifikan (per Maret 2013-Oktober 2015, di luar edisi akhir pekan). Jurang persepsi antara generasi analog (media cetak) dan digital (interaktif) tak mulus seperti yang diharapkan. Perubahannya nyaris secepat cahaya. Mengusung tagline "lintas generasi", Kompas sebagai harian terbesar dan sejumlah koran nasional di tanah air pun tak kuasa menahan berkurangnya tiras penjualan edisi cetak mereka.
Kita tak mungkin menjadikan teknologi sebagai biang kerok semua ini, karena perubahan psikis sidang pembaca generasi baru secara global telah berubah tanpa bisa diantisipasi dengan tepat oleh para pendahulu yang menakar generasi baru dengan standar lawas yang merupakan representasi generasinya. Perubahan antar generasi tak bisa lagi dibaca dengan orde generasi lama. Dia harus tersaji sungguh-sungguh dengan memperhatikan budaya baca generasi masa kini yang cenderung amat praktis terhadap jurnalistik. Sangat subyektif, sesuai dengan mood dan keinginan yang dibutuhkan setiap dia membaca berita atau informasi pada gadget yang selalu menyertainya setiap saat. Di manapun. Bahkan di toilet dan kamar mandi sekalipun.
Perubahan adalah filosofi yang total dan menyeluruh, bukan manifestasi setengah hati. Belum lagi faktor kecepatan dan aktualita yang tadinya menjadi domain pers cetak, sekarang telah kembali menjadi milik masyarakat (civic journalism). Melalui metode broadcast live streaming yang simpel dan efisien, breaking news stasiun televisi konvensional sekarang menjadi barang mewah yang boros, dan juga siaran langsung radio, posisi penyiaran versi media cetak tertinggal jauh di belakang sana. Sekarang berita terhangat akan tiba di gadget pembaca begitu seketika setelah peristiwa terjadi. Meskipun menomor duakan faktor akurasi, kita harus menerima dengan lapang dada bahwa jaman telah menggusur media cetak ke titik nadirnya. Ke tepian jurang terjal yang terlihat dari ketinggian menara gading seperti liang lahat.
Dalam suasana yang pekat dengan aroma pemakaman jurnalistik cetak itu, pergantian pucuk pimpinan Kantor Berita Antara akhirnya dilakukan pada Jumat (22/1) pagi, di Jakarta. Meidytama Suryodiningrat, yang kerap dipanggil Dimas, pemimpin redaksi koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post, yang pro Jokowi-JK pada saat kampanye pilpres tempo hari, ditunjuk pemerintah untuk menggantikan wartawan senior Saiful Hadi yang baru bertugas selama 2 tahun 3 bulan sebagai direktur utama.
Dimas akan menghadapi tugas berat ke depan. Dia harus mampu memimpin Kantor Berita Antara yang sarat dengan beban sejarah di pundaknya dengan fokus, solid dan tegas, agar sekaligus dapat menjawab selera jaman atas kehendak jurnalistik digital masa kini. Belum lagi direksi yang akan membantunya bakal tetap terisi dengan wartawan senior Antara dan orang-orang yang menjadi warisan dirut lama Antara. Filosofi perubahan yang fundamental termasuk tinjauan atas status dan bisnis kantor berita ini, tampaknya merupakan alternatif utama alias kata kunci untuk menghidupkan kembali masa depan Antara yang membanggakan.
Perubahan tak cukup hanya dengan mengganti logo yang modern dan bernas. Tapi seperti di masa-masa sebelumnya, sebagian pengelolanya kemudian hanya mampu menatap makna dari identitas perusahaan itu dengan imajinasi dan metafora ABS (Asal Bapak Senang) yang ternyata tak pernah menghasilkan legacy seujung kukupun dalam bidang jurnalistik. Fakta menyebutkan bahwa sejak menjadi bagian dari BUMN, maka kantor berita ini seolah hanya mampu hidup dari bisnis warisan dan belas kasihan pemerintah.
Dalam ranah jurnalistik Nusantara, Kantor Berita Antara masih mengemban tugas sebagai pembina pers daerah-daerah pelosok dan pedalaman. Artinya Antara harus selalu menjadi bagian yang aktif mengais solusi proyektif atas musim gugur media cetak kita yang notabene adalah para pengguna jasa kita. Mulai dari pusat jurnalisme Indonesia sampai ke kawasan periferalnya. Bukankah perubahan total mutlak akhirnya dibutuhkan agar revitalisasi kantor berita Antara kelak dapat hadir untuk menjawab jaman demi pengabdiannya pada media komprehensif dan jurnalisme secara umum di tanah air?
Jika direksi baru Kantor Berita Antara nantinya cuma duduk memelihara status quo, percayalah, itu pertanda bahwa lonceng pemakaman kantor berita bersejarah ini tengah berdentang senyaring-nyaringnya.
oscar motuloh
pewarta foto Antara
Foto: Saiful Hadi (kiri) dan Meidyatama Suryodiningrat (Sigid Kurniawan/Antara)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 23/01/2016 23:39