Langkah Besar Joey Alexander

"Selama ini saya tidak percaya adanya reinkarnasi. Tapi melihat Joey Alexander bermain piano seperti itu, saya percaya reinkarnasi itu ada."

Sedemikian "frustasinya" Wynton Marsalis, trumpeter jazz papan atas dunia, mengomentari kemampuan bermusik Joey, bocah asal Bali yang saat itu baru berusia 10 tahun. Marsalis melihat Joey saat konser debut di ajang Jazz at Lincoln Center Gala, Amerika Serikat, Mei 2014. Bagi dia, tidak masuk akal seorang bocah yang baru mengenal kibor mini di usia 6 tahun dan belajar otodidak, bisa memainkan musik jazz secara "mature" dan mendalam. Apalagi, lagu yang dipilih Joey tidak bisa dianggap enteng: "Round Midnight" (Thelonius Monk). Lagu ini dikenal cukup rumit, bahkan bagi para musisi jazz level master sekalipun.

Child prodigy?

Anak ajaib atau child prodigy. Demikian media dan masyarakat jazz dunia menyebut sosok Joey Alexander, bocah kelahiran Denpasar 25 Juni 2003 itu. Namun rupanya, Joey sendiri kurang suka sebutan itu karena kerap hanya bercerita soal umur, bukan kemampuan. Maka pria kecil penyuka video game ini, hanya ingin dikenal sebagai "Joey si musisi jazz".

Sebutan musisi jazz tentu tak salah. Tapi prodigy juga layak disematkan, mengingat di usia 7 tahun jemari Joey fasih memainkan komposisi Thelonius Monk berjudul "Well, You Needn't", yang dia pelajari hanya dengan mendengar. Orangtuanya, Denny Sila dan Farah Leonora Urbach, memang kerap memutarkan deretan lagu jazz klasik dari banyak musisi, seperti Monk dan Herbie Hancock sejak Joey masih dalam kandungan.

Maka tak berlebihan rasanya jika orang menilai kemampuan Joey sebagai gifted, anugerah. Disebut demikian karena kemampuan Joey seolah mengalir alamiah, bukan dibentuk oleh seorang guru khusus. Bahkan upaya sang ayah mengikutkan Joey ke bimbingan belajar musik kandas. Joey tak mau meneruskan, dan memilih belajar piano secara otodidak. Bagi Joey, bemain musik jazz adalah soal kebebasan berekspresi. Hal itu tidak ditemukannya dalam les, yang penuh dengan syarat hafalan piano klasik, dari karya Tchaikovsky hingga Mozart.

Untuk mengasah talenta musiknya, Joey yang sering tampil di panggung memakai T-shirt dan celana jeans itu punya cara sendiri, yakni berkolaborasi atau jam session dengan musisi lain. Bagi Joey, jam session adalah cara berdialog dalam bermusik. Ada proses memberi, menerima dan saling mengisi. Melalui kolaborasi, Joey juga punya kesempatan unjuk gigi bersama sejumlah musisi jazz di Bali dan Jakarta. Salah satunya tampil apik di depan ikon jazz dunia Herbie Hancock yang menjadi UNESCO Goodwill Ambassador. Itulah hari dimana Joey membuat keputusan penting: mendedikasikan hidupnya pada musik jazz.

Pintu Dunia Jazz Terbuka

Tak cukup berkolaborasi di ibukota, Joey kini menapak jalan menuju dunia. Adalah Wynton Marsalis, Direktur Artistik Jazz At Lincoln Center, yang menonton Joey memainkan komposisi milik Coltrane, Monk dan Chick Corea melalui YouTube. Tanpa berpikir lama, Marsalis mengajak Joey tampil di Jazz at Lincoln Center Gala pada Mei 2014. Inilah debut perdana Joey di Amerika Serikat. Joey dengan gemilang memainkan "Round Midnight" dan penampilannya pun dibanjiri pujian.

"Mungkin kita harus melakukan tes steroid pada anak ini. Bagaimana mungkin anak seusia itu bisa memainkan nomor Monk yang kompleks secara mendalam dan berkarakter," seloroh pemandu acara Billy Crystal. The New York Times bahkan menyebut penampilan itu sebagai "Overnight Sensation" dan menempatkan Joey di halaman depan harian itu pada keesokan harinya.

Lampu sorot kian mengarah ke Joey Alexander. Pamor kebintangannya kian bersinar. Undangan bermain jazz di AS terus berdatangan. Salah satunya di Arthur Ashe Learning Center yang dihadiri orang-orang penting AS, termasuk mantan presiden Bill Clinton. Joey juga tampil gemilang di University of the District of Columbia. Videonya kemudian menjadi viral dan ditonton lebih dari 500.000 kali di Facebook.

Nama Joey juga menjadi perhatian media nasional di AS, termasuk jaringan televisi NBC News. Pengakuan publik AS atas prestasi Joey diwujudkan dengan pemberian 0-1 Visa, yakni jenis visa yang hanya diberikan kepada seseorang dengan kemampuan luar biasa. Melihat kesungguhan dan pencapain Joey, orangtua Joey pun mantap hijrah dari Bali ke New York. Mereka menjual semua asetnya di Bali, termasuk meninggalkan bisnis pariwisata petualangan yang selama ini ditekuni. Tujuannya satu: mendekatkan Joey ke pusat episentrum jazz dunia, New York.

Setelah tinggal di kota berjulukan "Big Apple" itu, pencapaian Joey terus berjalan. Di usia 12 tahun, Joey Alexander berhasil tampil di Newport Jazz Festival, Rhode Island, panggung impian bagi sebagian besar musisi jazz dunia. Tidak sedikit para musisi jazz yang bekerja keras sepanjang hidupnya agar bisa tampil di Rhode Island. Tentu bukan tampil biasa, tapi tampil semenawan mungkin, karena penonton festival ini terkenal "nyinyir" dalam mengkritisi penampilan setiap musisi.

Tapi talenta dan kerja keras Joey Alexander bisa melunakkan itu. Joey panen "standing ovation" dari penonton saat membawakan sejumlah lagu, termasuk komposisi "Ma Blues", yang diciptakannya sendiri saat berusia 10 tahun. Penampilan ini sekaligus menempatkan Joey sebagai musisi jazz termuda yang pernah diundang di Newport Jazz Festival.

Nominasi Grammy Awards 2016

Joey merilis album pertamanya, "My Favorite Things", pada 12 Mei 2015, saat usianya menjelang 12 tahun. Album itu diproduseri peraih Grammy Award, Jason Olaine, dengan label Motema Music. Album yang direkam mulai Oktober 2014 itu berisi 11 lagu termasuk 2 bonus track. Joey terlibat penuh dengan mengaransemen semua lagu, diantaranya "Round Midnight", "Giant Step" (Coltrane), "Lush Life" (Billy Strayhorn), juga "Ma Blues", komposisi orisinil karyanya sendiri. Joey juga bekerjasama dengan sejumlah musisi lain, termasuk anggota Trio-nya Russell Hall dan Sammy Miller.

Kerja keras Joey pun berbuah manis. Album "My Favorite Thing" kini masuk dalam dua nominasi Grammy Awards sebagai Best Instrumental Jazz Album ("My Favorite Things") dan Best Improvised Jazz Solo ("Giant Steps").

Rekor kembali terukir karena Joey adalah nominee termuda dalam sejarah penghargaan Grammny. Joey juga menjadi musisi Indonesia pertama yang menjadi nominee di ajang musik bergengsi dunia.

Nominasi Joey di Grammy Award seperti mengukuhkan kemampuan improvisasi dalam bermusik jazz. Sebelumnya pada 2013, Joey juga memenangi Granx Prix Master Jam Fest di Odessa Ukraina. Di ajang ini, improvisasi musik Joey menghadirkan sesuatu yang lebih dan menandingi para master jazz dunia.

Lalu dari mana datangnya improvisasi musikalitas itu? Sejumlah kritikus jazz menyebut dari ketulusan. Bagai anak yang tengah asyik dengan permainannya, Joey juga menikmati tiap detik waktunya dengan musik jazz. Dengan mendengar, meresapi setiap detailnya, Joey telah jatuh cinta dengan jazz. Cinta inilah yang telah menuntun jemarinya di atas piano dan memainkan musik jazz dengan caranya sendiri. Cara yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mendefinisikan bermusik dengan joy, kesenangan. Cara sederhana yang justru mengantar Joey ke panggung dunia dan mengukir prestasi tanpa henti.

Kita tunggu saja apakah Grammy Awards 2016 yang akan digelar di Staples Center Los Angeles, California, 15 Februari 2016 nanti akan jadi ajang pembuktian atas kerja keras seorang Joey Alexander sebagai musisi jazz dunia, bukan "anak ajaib" yang mengandalkan anugerah semata.

Andika Wahyu
pewarta foto, penikmat musik jazz

Foto: Joey Alexander saat tampil bersama Ireng Maulana and the Kids pada JakJazz Festival, Jakarta, 20 Oktober 2012 (ANTARA/Rosa Panggabean)

Pewarta: Andika Wahyu | Editor:

Disiarkan: 10/02/2016 13:09