Cerita Mimpi Dari Kota Para Malaikat

Film musikal "La La Land" arahan sutradara muda Damien Chazelle berhasil meraih 6 Piala Oscar, supremasi tertinggi bagi insan perfilman AS, yang penganugerahannya digelar di Dolby Theater, Hollywood, Los Angeles, Minggu malam waktu setempat (Senin siang WIB). Dipandu komedian terkenal Jimmy Kimmel, ajang Oscar tahun ini sedikit berbeda dengan capaian dari anugerah Golden Globe yang digelar beberapa pekan silam, dimana kategori film terbaik Oscar berhasil disalip oleh film "Moonlight", drama perjuangan hidup seorang warga AS keturunan Afrika dalam keseharian yang keras di Miami.

"Moonlight" berhasil membawa pulang tiga Oscar: film terbaik, aktor pendukung terbaik (Mahershala Ali) dan adaptasi skenario terbaik (Barry Jenkins, yang juga bertindak sebagai sutradara). Sementara "La La Land" meraup 6 Oscar untuk sutradara terbaik (Damien Chazelle), aktris terbaik (Emma Stone), sinematografi terbaik (Linus Sandgren), skor musik asli terbaik (Justin Hurwitz, Benj Pasek dan Justin Paul), lagu asli terbaik (Justin Hurwitz, Benj Pasek dan Justin Paul) dan disain produksi terbaik (David dan Sendy Wasco).

Piala Oscar tahun ini terbagi rata untuk film "Manchester By the Sea", "Hacksaw Ridge", "The Jungle Book", "Fences", "Arrival", "Fantastic Beast" dan "The Salesman", film asing terbaik karya sutradara Iran kelahiran Isfahan, Asghar Farhadi, berdasarkan lakon Arthur Miller, "Death of a Salesman".

Meskipun pencapaian "La La Land" tak sedominan ajang "Golden Globe", namun pos sutradara terbaik tahun ini, tak bisa tidak, menjadi milik sutradara muda jenial, Damien Chazelle. Dalam industri film kekinian AS, yang didominasi dengan film-film "crispy" yang diangkat dari games dan komik mega pahlawan, "La La Land" menyelinap sebagai sebentuk film musikal yang punya kualitas, apalagi diproduksi dengan bujet yang lumayan rendah untuk ukuran film Hollywood. Sebelum pergelaran Oscar, film musikal ini telah mencatat pemasukan global sebesar 90 juta dolar AS, sementara biaya produksi dalam 8 pekan syuting hanya menghabiskan biaya sebesar 30 juta dolar AS.

Setelah film musikal "Gigi" (1958, Leslie Caron dan Maurice Chevalier) yang disutradarai Vincente Minnelli, ayah dari bintang cabaret AS, Liza Minnelli, membawa pulang 8 Oscar, maka kita simak sejumlah film musikal yang tercatat dalam sejarah: "Cabaret" (1972, 8 Oscar, Liza Minnelli, Michael York, sutradara Bob Fosse), "Hello Dolly" (1969, 3 Oscar, Barbra Streisand, Walter Matthau, sutradara Gene Kelly), "Singing in the Rain" (1952, Gene Kelly, Debbie Reynolds, sutradara Stanley Donen dan Gene Kelly).

Sementara pada tahun 2011 dan 2012, kisah tentang pentas dan adaptasinya juga menguasai ajang Piala Oscar: "The Artists" (2011, 5 Oscar, Jean Dujardin, Berenice Bejo, sutradara Michel Hazanavicius) dan "Chicago" (2002, 6 Oscar, Richard Gere, Catherine Zeta Jones, sutradara Rob Marshall.

Ajang Oscar tahun ini juga mencatatkan sejarah. Damien Chazelle adalah sutradara peraih Oscar termuda dalam 85 tahun terakhir. Rekor yang bertahan lebih dari delapan dekade tersebut akhirnya terpecahkan karena dalam usia 32 tahun, Damien, oleh panitia Oscar dinyatakan lebih muda 221 hari ketimbang pemegang rekor sebelumnya, sutradara Norman Taurog, pembesut film "Skippy" yang dirilis tahun 1931. Dalam film itu, aktor cilik Jackie Cooper yang juga keponakannya mendapat peran utama.

Seperti halnya film arahan/skenario yang ditulis Bob Fosse, "All That Jazz" (1979, 4 Oscar, Roy Scheider, Jessica Lange, sutradara/skenario Bob Fosse), "La La Land" juga diangkat dari pengalaman pribadi Damien saat meniti karir di Los Angeles, jauh dari kampung halamannya di Providence, Rhode Island. Yang membedakannya, Fosse menggarap nyaris sepenuhnya kehidupan pentas Broadway di mana dia memulai karirnya, sementara Damien meramu filosofi jazz-nya menjadi adonan kisah asmara, mimpi dan cita-cita, ke dalam drama musikal keseharian yang sangat kental penuturan ceritanya. Apalagi dengan sinematografi yang pas dan afdol garapan Linus Sandgren.

Skenario "La La Land" sebetulnya sudah digarap sejak 2010, sebelum film "Whiplash" dirilis pada 2014. Tadinya film indie itu hanya akan diproduksi dengan biaya 1 juta dolar AS saja, namun ide kemudian berkembang sehingga dia harus mengais donor dari mana-mana. Maklum sebagai anak muda yang tak bertampang Hollywood, para investor dan produser label besar tak ada yang tertarik.

Jadilah film musikal yang menjadi refleksi kisah cinta Chazelle dengan Olivia Hamilton, yang kemudian dinikahinya itu, harus melibatkan 14 produser, termasuk biduan John Legend yang turut bermain memeriahkan "La La Land". Sementara sang istri, Olivia, didorongnya jadi "cameo", sebagai seorang pelanggan kedai kopi tempat sang tokoh utama bekerja, yang ceriwis dan menuntut uang kembalian karena pesanan kopi tak sesuai pesanannya.

Damien Chazelle, lahir di Providence, ibukota negara bagian Rhode Island, AS, 19 Januari 1985. Kota perkebunan itu letaknya berseberangan dengan lokasi festival folk, blues dan jazz paling bergengsi di AS, Newport Jazz Festival (NJF), yang digelar sejak tahun 1954. Festival beken yang diprakarsai George Wein dan Elaine Lorrilard itu mengambil lokasi di Fort Adams State Park yang terletak di tanjung kota pesisir Pantai Timur AS, Newport. Sukses NJF kemudian melahirkan saudaranya, Newport Folk Festival. Jazzer dan peblues macam Miles Davis, Bill Evans, Buddy Rich, Duke Ellington, Muddy Waters dan John Lee Hooker mengukir namanya di sana.

Namun semenjak 1972, NJF dipindahkan ke kosmopolis, kota New York. Baru pada tahun 1981 festival jazz itu dimainkan kembali di kampung halamannya, Newport, dan sekaligus juga New York, ibukota jazz perjuangannya Amrik. Dalam periode 1984-2008, NJF berganti busana menjadi JVC Jazz Festival yang ceritanya menjadi setting lokasi konser "vendetta" antara drummer muda Andrew (Miles Teller) dan sang guru yang zalim, Fletcher (J.K. Simmons) ketika versi "Caravan" (Duke Ellington) dimainkan sebagai setting di ajang penutup film kejutan Damien, "Whiplash" (2014), yang menuai bagitu banyak pujian.

Hobi fanatik ayah Damien yang pakar komputer, Bernard Chazzele, pada musik blues dan jazz-lah yang menggiring pendengaran Damien pada cakrawala musikal, khususnya jazz. Belum lagi pengaruh sang ibu, Celia, yang memang berprofesi sebagai penulis, ikut memperdalam pembentukan karakter Damien yang aneh, canggung dan pemalu. Pengaruh kedua orangtuanya itu kelak memperkuat akar karir Damien sebagai seorang sineas angkatan terbaru di AS yang semakin kekurangan bakat genial dalam bercerita di belantara sinematografi yang dipenuhi aksi kekerasan dalam balutan pahlawan super dan film remake belaka.

Sejak di bangku SMP, atas dukungan penuh kedua orang tuanya Damien memutuskan untuk berkonsentrasi belajar jazz. Dia berlatih spartan, 8 jam dalam sehari. Jazz telah menjadi jiwanya. Namun saat kuliah di Harvard, dia lebih mampu untuk menakar diri. Damien merasa bahwa profesi sutradara adalah karir yang kelak menjadi nadi dan klop dengan karakter dan kehidupannya. Walaupun dia tetap menjadi drummer jazz dalam sebentuk combo kampus bersama karibnya, Justin Hurwitz, Damien telah menemukan bahwa dirinya adalah seorang calon sineas masa depan. Dalam belantara sinematografi AS yang keras dan kejam, dia memboyong serta Justin sejak "Whiplash", film indie keduanya yang berhasil mengejutkan pasar global.

Sadar akan sifatnya yang pemalu, kepada pers Damien mengaku itu yang menyebabkannya tak meneruskan pilihan sebagai seorang musikus, sebab tampil di hadapan khalayak ramai membuatnya gugup. Dia pengidap demam panggung berat. Namun bagaimanapun tampaknya jazz telah menjadi belahan jiwanya. Dari inspirasi jazz, tiga film garapannya berhasil menguak takdir, meskipun film perdananya, "Guy and Medeline on a Park Bench" (2009), yang dia produksi dan sutradarai sendiri tak masuk pasar sinema secara luas.

Jazz memang bukan sekadar musik dalam pengertian teknis dan catatan partitur yang tercetak rapi dalam songlist setiap penampil. Dia adalah jiwa dalam antropologi urban yang berkembang di tanah Amerika. Jazz adalah ekspresi kemerdekaan hakiki yang menjadi warna penting dalam perkembangan kemanusiaan dan demokrasi di AS.

Musik itulah yang datang bersama dengan derita para budak belian dari pantai-pantai Afrika di pesisir Samudra Atlantik. Dia hadir dalam lenguh para budak yang mendayung menyeberangi samudra, dalam pasungan bak binatang di pasar hewan. Lenguh komunal para budak, desingan pecut yang memecahkan kulit, hingga bau amis darah yang mengucur, menimbulkan irama yang terbawa ke daratan benua baru sebagai musik blues, ibu segala jenis musik yang berkembang di tanah harapan itu di kemudian hari.

Jazz sebagai janin musik blues adalah darah yang mengalir dalam nadi Damien. Darah yang menggerakkan sendi demokrasi dan budaya di tanah Paman Sam dalam beraneka rupa ragam dan bentuknya. Jika hanya persoalan teknis yang hadir dalam kerumitan chord jazz, maka genre itu tak akan lekang bersama hari dan tahun-tahun yang berlalu dengan cepat.

Damien paham meletakkan itu semua sebagai catatan pinggir dari pengalaman hidup yang diungkapnya dalam nada-nada visual puitik namun sederhana, karenanya renyah untuk disimak. Di Planetarium kota impian anak-anak muda yang ingin menjadi pesohor visual, Sebastian (Ryan Gosling) dan Mia (Emma Stone) menatap alam semesta seperti pasangan Hana (Juliette Binoche) dan Kip (Naveen Andrews) yang berayun menikmati tapestri gereja tua dengan bantuan cahaya senter sederhana dalam film "English Patient" (1996, Anthony Minghela) yang diangkat dari novel Michael Ondaatje.

Impian Mia, seorang barista muda untuk meniti karir di balatika layar perak, menemukan lawan yang sepadan dari seorang pianis yang nyaris gagal dalam kehidupannya yang begitu keukeuh ingin menghidupkan musik jazz yang amat dicintainya. Hanya sebagai seorang sutradara, Damien dapat mengekspresikan film musikal "La La Land" sebagai kisah yang diilhami dari mimpi-mimpi dalam realita kehidupannya. Suatu ambisi kecil yang menyihir penonton saat Sebastian menekan tuts pianonya dan melantunkan "City of Stars" (komposisi Justin Wurwitz) dengan tata cahaya yang mengarahkan follow light pada dirinya.

Ekspresi yang nelangsa dalam denting-denting piano yang menusuk kalbu, menutup impian bahagia versi "alternate-ending"-nya Mia kala menerobos lorong-lorong kehidupan orang-orang panggung ala sutradara Mexico, Alejandro Inarritu saat mengarahkan Michael Keaton dalam "Birdman"(2014). Ujung matanya dengan tajam menatap Mia, yang hadir di hadapannya sebagai aktris besar seraya menggenggam tangan produser yang kini menjadi suaminya. Genggaman yang memperlihatkan caranya untuk mengelabui suara jiwa yang terguncang mimpi-mimpi dahulu dan realita yang hadir di hadapannya.

Balada nada-nada memang tak sekonyong-konyong mampu membuyarkan realita, karena ritme puitisnya membawa kita hanyut dan merasakan bahwa sepasang mata sang pianis seolah yakin bahwa pria yang menggandeng tangan kekasihnya dan menghilang dari layar perak hanyalah suami pilihan karir, bukan pria yang menjadi belahan jiwa seperti yang dirasakannya malam itu dan mungkin hari-hari selanjutnya. Bukankah kehidupan selalu berdesir seperti angin pesisir Los Angeles, kota "Para Malaikat" yang kadang menghembuskan dupa nirvana, gundah nestapa, tapi juga keberanian untuk bermimpi?


oscar motuloh
pewarta foto Antara

Foto:Damien Chazelle memenangkan piala Oscar sebagai Sutradara Terbaik untuk "La La Land" saat berlangsungnya Academy Awards ke 89 di Hollywood, California, Minggu (26/2). ANTARA FOTO/REUTERS/Lucas Jackson

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 27/02/2017 18:05