Mengelola Harapan
Ketika berangkat menuju arena laga Piala Dunia 2018 Rusia, timnas Inggris hanya dipandang sebelah mata. Padahal tanah air mereka adalah markas salah satu dari dua liga sepakbola terbaik di dunia.
Tak banyak target yang dibebankan oleh publik di atas pundak Gareth Southgate. Pelatih berusia 47 tahun, mantan bek tangguh dan anggota timnas Inggris itu lebih dikenal sebagai pecundang. Dia tercatat dalam benak penggila bola sebagai penyebab gagalnya Inggris membekuk kesebelasan Jerman kala tampil sebagai algojo penentu dalam adu penalti partai semifinal Piala Eropa tahun 1996, di hadapan 75,862 pasang mata di Wembley, altar keramat sepakbola Inggris.
Jabatan yang sekarang berada di atas pundaknya juga merupakan cipratan dampak dari skandal korupsi dalam timnas Inggris yang menyebabkan pemecatan pelatih gaek Sam Allardyce yang baru sempat memimpin satu laga pertandingan tim Tiga Singa. FA seperti tak punya pilihan lain. Mereka harus memilih Southgate dalam stigma kapabilitas pelatih lokal yang pas-pasan, jika tak bisa dikatakan mengecewakan, menyusul pemecatan Steve McClaren yang gagal total menangani timnas Inggris. Dan yang lebih memalukan, skandal Allardyce tadi.
Sebelum lowongan bagi pelatih lokal terbuka, timnas Inggris sempat mendatangkan jasa tenaga asing seperti Sven-Göran Eriksson dan Fabio Capello. Kinerja mereka ternyata medioker saja. Inggris tetap melempem dan kurang seatraktif laga demi laga dalam liga mereka.
Southgate diminta mengisi jabatan Allardyce pada 2016 karena dia dianggap paling mumpuni di antara kandidat lainnya. Ketika itu dia adalah pelatih timnas yunior U-21 Inggris setelah sempat mengisi posisi yang ditinggalkan McClaren di kesebelasan Middlesbrough selama tiga musim.
Pria bergaya parlente dan konservatif dengan rompi biru dongker yang dikombinasi dasi sutra bermotif garis-garis sebagai endorsement resmi dari Marks and Spencer itu sekarang telah berlayar jauh melampaui harapan orang banyak. Dia berhasil mengarahkan generasi baru para Singa Muda Inggris dalam kapasitas energi, kecerdasan sekaligus seni kenikmatan bermain sepakbola ke dalam hasil akhir pertandingan. Wajahnya semakin luas dikenal orang, efek rompi Southgate juga ikut-ikutan meningkatkan penjualan hingga 35 persen terhitung sejak dia melakukan komando dari bench sejak penampilan perdana hingga sejauh ini.
Jejak Southgate dan Harry Kane cs kini tengah menjadi sorotan tak hanya di tanah air mereka. Orang-orang amat merindukan berulangnya romantika sejarah juara Piala Dunia 1966 di Wembley. Pers dan medsos Inggris menyanjung mereka setinggi langit. Rekan-rekan seangkatan Southgate yang menjadi narasumber di stasiun-stasiun televisi terlihat melonjak dalam kegirangan yang penuh euforia, begitu Eric Dier melesakkan gol penentu ke gawang Kolombia di penghujung drama adu penalti yang amat menegangkan.
Southgate tak lagi bisa "jaim". Dia meloncat dengan tangan meninju angkasa karena kutukan penalti Inggris - sekaligus dirinya - berakhir di kaki anak-anak asuhnya. Dalam kegembiraannya, dia melihat ke sudut lain, tampak kilasan masa lalu yg buram. Dia bergegas berjalan ke arah muram durja, dihampirinya David Ospina, penjaga gawang Kolombia yang tengah menangis tersedu dan dirangkulnya sambil mengucapkan kata-kata penghiburan. Southgate paham benar perasaan kiper yang merumput di London Utara markas Arsenal yang musim mendatang tak lagi dilatih Arsene Wenger. Di depannya, pelatih jenial Kolombia, Jose Pekerman, menatap kejadian itu dengan terharu.
Adegan simpatik itu kemudian menjadi viral di mana-mana, bersamaan dengan meme-meme yang menertawakan para jagoan yang cuma jadi pecundang di Piala Dunia kali ini. Jurnalisme jaman now memang revolusioner. FIFA, organisasi sepakbola dunia yang lebih berwibawa ketimbang PBB, memanfaatkan dua-duanya. Jurnalisme interaktif dan tentu yang mainstream. Yang pasti kantor-kantor berita transnasional tetap menjaga kisi-kisi tradisi fungsional mereka. Reuters turut larut dalam suka-cita mendalam tapi tetap melayani pelanggan tradisional mereka dengan jurnalisme prioritas kepada pelanggan setia mereka. Akses buat publik cukup tersaji secukupnya di lapisan kulit ari saja.
"Kami tak peduli klik semu pengunjung portal, tugas kami melayani kedalaman untuk media pelanggan kami dengan baik, termasuk Kantor Berita Antara," komentar Beawiharta, wartawan konvergensi Reuters Jakarta.
Prioritas pelayanan adalah hakekat utama keberadaan Kantor Berita. Jaman kuantitas cukuplah sudah. Sekarang eranya kedalaman jurnalisme. Rasanya dalil ini juga dianut pers nasional. Harian Kompas perlahan-lahan melakukan metamorfosa menuju bentuk interaktifnya bernama Kompas.id yang dilaksanakan dengan cara berbayar, sementara Kompas.com disiapkan untuk dapat diakses publik seluasnya secara gratis.
"Konvergensi bagi kami bukan dalam pengertian yang verbal, kami melakukannya dalam spesialisasi jurnalistik, managing editor Global Desk, puncak pimpinan redaksi kami tak berhak menentukan kelaikan fotografi, semuanya menjadi hak prerogratif chief fotografi kami," demikian Beawiharta menutup pembicaraan.
Hari-hari ini redaksi Kantor Berita Antara tengah mencoba berbenah diri. Para generasi penerus lembaga pers yang punya jejak sejarah yang kuat ini, mencoba melayani para mitra dan pengguna jasa mereka dengan sajian yang konon juga untuk menjawab jaman. Semacam kantor berita jaman now.
Seperti Southgate, si bungsu dari keluarga BUMN dengan nahkoda baru, tengah bergerak maju melawan arus deras persaingan yang ketat. Jika Southgate berani meninggalkan skema 4-4-2 yang membawa Inggris berjaya sebagai kampiun Piala Dunia 1966 di Wembley, publik pengguna jurnalistik Antara tentu berharap kewajiban tradisi kantor berita tak akan ditelantarkan karena skema yang ditawarkan seolah-olah hanya ditujukan untuk mengejar klik pengunjung, artinya bersaing dengan pengguna jasa. Bukan melayaninya dengan sajian jurnalisme berkualitas.
Salah satu kunci keberhasilan Southgate (sejauh ini) adalah berani menampilkan skema 3-5-2 dengan memanfaatkan jelajah lapangan tengah dengan maksimal. Dia tentu tak gegabah mengubah skema tanpa melihat materi enerjial para anak muda yang sekarang menjadi tulang punggung timnas tanah air mereka. Satu elemen penting lainnya, Southgate mengenal dan paham karakter personal para Singa Muda Inggris itu dengan dengan baik. Kunci lainnya adalah komunikasi dan apresiasi lintas generasi, menurut dia, para senior yang tak banyak jumlah tetap tersenyum meskipun belum mendapatkan jam bermain yang cukup.
Gaya sepakbola yang atraktif dan artistik, memang tak lagi menonjol dalam dunia sepakbola masa kini. Brasil era Tite cenderung membosankan, karena mereka juga kerap menumpuk pemain di belakang. Bahkan timnas Belanda yang kali ini absen di Piala Dunia, tak lagi mampu memainkan pola totaal voetbal seperti yang mereka peragakan pada kejayaan mereka di tahun 1970-an. Gaya Brasil ala Tele Santana yang menyihir dunia karena begitu anggun dan indah sulit dimainkan sekarang karena tim gurem bertumbuh besar dan kuat.
Mengenai optimisme yang melanda Inggris bakal mengukir sejarah. Southgate dalam petikan wawancara dengan Radio BBC 5 Live menjawab dengan kata-kata, "mengelola harapan itu rada sulit".
Southgate sadar meskipun Harry Kane cs memiliki potensi dan energi klimaks menuju puncak prestasi namun keberadaan pelatih di dalam dan di luar lapangan hijau adalah untuk memetakan pola yang cocok atas karakter permainan mereka. Kematangan adalah sebentuk kelangkaan dalam usia muda. Untuk itu integritas Southgate tengah dibutuhkan dengan sangat oleh timnas Inggris yang kali ini tak hanya milik tiga singa, namun 23 singa. Pada pundaknya kematangan timnas ini akan dibentuk dalam kekalahan sekalipun.
oscar motuloh
Pewarta foto Antara
Foto: Gareth Southdate merayakan kemenangan Inggris dengan Harry Maguire (Reuters/David Gray)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 09/07/2018 20:14