Kala Duncan, Mala Capa

Fotografi jurnalistik punya sejumlah romansa profesi dan juga asmara di balik karya-karya "scoop" visual yang dihasilkan. Medio pekan ini, dunia fotografi dikejutkan dengan wafatnya salah satu pionir fotografi jurnalistik di medan perang Korea, David Douglas Duncan, dalam usia yang sangat lanjut.

Duncan tinggal di Castelleras, Perancis, sejak 1962 menyusul pernikahannya yang kedua dengan Sheila Macauley pada tahun yang sama. Menurut Sheila, suaminya berpulang dalam usia 102 tahun, pada Kamis, 7 Juni, lalu di sebuah rumah sakit di Grasse, Perancis Selatan.

Pria kelahiran Kansas City, AS, pada tahun 1916 ini sangat gandrung fotografi sejak kecil. Dia masuk jurusan arkeologi Universitas Arizona pada tahun 1934, tapi drop-out gara-gara lebih tertarik ikut tim ekspedisi ke Meksiko dan Amerika Tengah. Dia tetap menyelesaikan kuliah tapi di jurusan yang berbeda, zoology, di Universitas Miami tahun 1938. Setelah itu Duncan bertualang sebagai fotografer kehidupan biota laut, dari Florida sampai Cayman. Juga di rimba raya, dari kawasan peradaban Maya hingga di Yucatan. Karya-karyanya dilirik dan dipublikasikan oleh majalah terkemuka National Geographic.

Saat Perang Dunia II pecah, Duncan bergabung sebagai prajurit marinir AS supaya dapat meliput serbuan di Pulau Solomon dan Okinawa sebagai pewarta foto kombatan perang. Dia ikut di geladak kapal perang USS Missouri di Teluk Tokyo pada tahun 1945 sekaligus mengabadikan sejarah
kekalahan tanpa syarat balatentara Dai Nippon dengan bintang utama Jenderal Douglas MacArthur.

Di kancah Benua Biru, sejak setahun sebelumnya, pewarta foto perang legendaris, Robert Capa, tengah mengguratkan nadinya untuk liputan PD II yang kemudian menjadi takdir status profesi seorang Capa. Terlahir sebagai Endre Friedmann, imigran Hungaria berdarah Yahudi, Capa memilih "nama panggung" tersebut karena usulan kekasihnya Gerda Taro, pewarta foto perang perempuan pertama yang gugur di medan perang saudara Spanyol tahun 1937, dipadu dengan kekagumannya pada sutradara terkemuka AS berdarah Sisilia, Frank Capra.

Dalam versi biografer Richard Whelan, Capa disebutkan sejak bocah ingin menjadi penulis, karena punya gairah sebagai pendongeng. Dia tidak akan pernah meliput perang di mana dia tidak mencintai satu sisi dan membenci yang lain, tapi keibaan hatinya tak pernah partisan. Kejenialan Capa yang spesifik adalah membuat dirinya seperti tak terlihat di lapangan namun karyanya merefleksikan hal yang berbanding terbalik.

Di helm baja yang digunakannya dalam pertempuran di Italia pada tahun 1943, tertulis "Property of Robert Capa, great war correspondent and lover". Semua kemudian mengakuinya. Mungkin sambil manggut-manggut dengan senyum kecil disimpul.

"Saya adalah agresor teranggun di antara mereka semua," tulis Capa dengan percaya diri dalam memoar-novel yang ditulisnya tahun 1947, setelah liputan legendarisnya, D-Day. Yakni pendaratan bersama resimen amfibi ke-16, dari Divisi Infanteri Pertama, Angkatan Bersenjata AS, di pantai curam Normandia, Juni 1944.

Dibalik Burberry yang dikenakannya sebelum hari bersejarah itu, Capa membawa dua kamera Contax, satu Rollei dan Speed Graphic, serta lensa tele. Semua peralatannya disimpan aman dalam tas yang dilaburi oli agar terhindar dari korosif air asin. Di Weymouth, Capa tertegun kagum melihat ribuan kapal dan peralatan perang di pelabuhan, serta 5.000 prajurit yang memang merupakan himpunan armada dan pergerakan pasukan terbesar pada saat itu.

Dalam tas lainnya tersimpan sejumlah francs (mata uang Perancis saat itu), beberapa kondom dan satu buku saku pelajaran praktis bahasa Perancis, meskipun yang terpenting baginya adalah kalimat ini, "Bonjour, mademoiselle, voulez-vous faire une promenade avec moi?" (Halo, nona, maukah kamu jalan-jalan bersamaku?) yang dipersiapkannya apabila operasi militer lancar dan mungkin bertemu dengan gadis-gadis Perancis yang terkenal cantik dan modis.

Selain foto tentang prajurit yang gugur dalam perang saudara di Spanyol, nama Capa terukir sebagai fotografer perang terbesar sepanjang masa karena publikasi foto-foto D-Day yang sangat luas digunakan pers di seantero bumi. Tahun 1947 dia membentuk agensi foto bergengsi Magnum bersama George Rodger, David Seymour dan Henri Cartier-Bresson. Meskipun kepada Whelan dia ngotot mengaku sebagai pewarta foto, bukan seorang artis, namun pola kehidupannya telah mendorongnya menjadi sesosok selebritis.

Dia kemudian berkenalan dengan aktris terkenal Inggrid Bergman, putri sutradara legendaris Swedia, Ingmar. Sejak pertemuan mereka kembali di Berlin pada tahun 1947, Inggrid yang telah bersuami, jatuh cinta. Dia mengajak Capa hidup bersama dan menyatakan bersedia meninggalkan suaminya. Capa menolak, tapi hati kecilnya yang mencintai hingar bingar dunia film, mulai membuatnya bergaul di Hollywood.

Romansanya bersama Ingrid bahkan menginspirasi sutradara Inggris ternama, Alfred Hitchcock, dalam merampungkan shooting "Rear Window" dengan bintang utama James Stewart yang dalam kisah thriller itu memerankan wartawan foto majalah fotografi majalah Life sekaligus sebagai impersonifikasi Capa.

Realitas Hollywood bukan hal yang asing bagi Capa. Dia menginspirasi secara visual baik dari ladang profesi seperti film “The Longest Day” (1962) yang diangkat dari buku Cornelius Ryan dengan deretan bintang-bintang elite pada saat itu, dan “Saving Private Ryan” (1998) yang diperankan Tom Hanks dan Matt Damon dalam arahan Steven Spielberg, serta besutan Hitchcock tadi.

Legenda Capa sebagai fotografer kombatan ditambah romansanya dengan selebritis papan atas Hollywood membuat namanya juga diperbincangkan di luar profesinya. Buah bibir itu menepikan kaliber dan kehandalan jurnalisme ala David Douglas Duncan yang tiga tahun lebih muda usianya dari Capa. Apalagi pada tahun 1947 itu juga, Capa dianugerahi penghargaan bergengsi, "Medal of Freedom". Sementara pendirian Magnum yang legendaris itu juga terwujud pada tahun yang sama.

Waktu berputar dengan cepat, pergaulannya di Hollywood tercatat dengan selera humor ala Russell Miller, penulis Inggris dan mantan wartawan the Sunday Times Magazine yang juga fans berat dari agensi foto itu, dalam "50 Years at the Front Line of History: MAGNUM", yang terbit bulan Oktober tahun 1999. Dalam kisahnya, Miller menulis, kehidupan dan obsesi Capa tampil sebagai bintang layar lebar membuatnya berhutang, termasuk menggunakan uang kas Magnum sendiri.

Ketika lonceng profesinya mendentangkan panggilan, Capa tak lagi dalam rekam jejak kekinian masa lalunya, liputan kombatan terahir dia adalah reportase di Tel Aviv pada tahun 1948. Reportase yang juga tecatat menghadirkan David Douglas Duncan yang perlahan tapi pasti semakin menancapkan kuku fotografi jurnalismenya secara global.

Saat Capa masih terbuai Hollywood, pada 1950-an dengan pongah dia mengatakan kepada sejawatnya di Magnum, Marc Riboud, "Fotografi telah tamat. Sekarang eranya televisi".

Duncan lalu hadir dalam kancah Perang Korea (1950-1953) dan penyebutan reportase perang di semenanjung ginseng itu mau tak mau akan menyebutkan namanya.

Majalah-majalah bergengsi, termasuk Life, mentahbiskan bahwa pewarta foto perang baru telah lahir. Sebutan yang menggugah nyali rivalitas Capa berada di titik didihnya. Perang tiga tahun yang menyebabkan jutaan korban jiwa di kedua pihak itu sama sekali tak menyebutkan nama Capa yang notabene adalah legenda seumur hidup.

Itulah sebabnya, Capa menyambar penugasan pertama yang mengirimnya ke Indocina, pada saat Perancis takluk di Bien Dien Phu tahun 1954. Saat itu usia Capa menginjak 40 tahun. John Morris yang menugasinya mengenang, liputan ini hanya bernilai 2.000 dolar AS dan dia berharap Capa menolaknya. Ternyata dia berangkat bukan karena materi.

Morris masih ingat, dirinya sempat mengingatkan Capa, "Bob, kau jangan berangkat. Ini bukan perang kita". "Ini akan menjadi kisah yang keren," timpal Capa dengan yakin. Lalu dia meloncat ke jeep bersama dua reporter yang meliput bersamanya.

Dalam file arsip Magnum, tertulis pada katalog cari no. 831, seperti yang ditulis Whelan, judul foto itu "on the road from Namdinth to Thaibinh", yang menggambarkan konvoi pasukan berjalan di rerumputan. Di sebelah kanan terlihat undakan tanah, lokasi yang kemudian menamatkan riwayat Capa, sang legenda hidup fotografer perang sepanjang masa, karena kakinya menginjak ranjau personal. Kamera Contax dan Nikon-nya menjadi saksi bisu kepergiannya yang tragis. Hari itu penanggalan menunjukkan 25 Mei 1954.

Sementara Duncan, meskipun tak seflamboyan seperti romantika kisah Capa, terus tercatat dalam deretan papan atas pewarta foto paling berpengaruh pada abad ke-20. Dia bersahabat erat dengan sumber fotonya, misalnya Pablo Picasso. Dia juga menerbitkan sejumlah buku, termasuk "This Is War" tentang perang Korea, "I Protest" tentang keberpihakannya menentang perang Vietnam dan sejumlah judul lain yang menggambarkan kehidupan para seniman. Duncan juga menyebarkan kepada dunia esai fotonya tentang Kremlin, Paris, Asia, Afrika dan tentu Timur Tengah.

Kita dapat menyimak sejarah perang sekaligus sebagai anti serumnya. Perang hanya mencatatkan darah dan airmata. Entah dari imaji Capa, entah dari karya Duncan. Dan tentu juga sejumlah nama besar lain yang menorehkan nama mereka dalam kancah kekerasan dengan aroma darah dan mesiu ini.
Karya-karya mereka adalah sejarah dalam anatomi terdangkal sebentuk peradaban politik dan kekuasaan yang zalim.

Suatu peringatan nyata yang harus menjadi jiwa bagi dunia, bahwa perdamaian global adalah harapan yang harus mampu diwujudkan demi kelangsungan peradaban yang adil dan beradab. Mencegah peperangan dan segenap keturunannya adalah amanat yang jauh lebih sulit ketimbang menciptakannya.


oscar motuloh
Pewarta foto Antara

Foto: David Douglas Duncan dalam penugasan di Palestina, 1946 (The LIFE Picture Collection/Getty Images)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 11/06/2018 00:35