SAHANG PEDAS DI TAPAL BATAS
Indonesia pernah menjadi negara penghasil utama lada (Piper Albi Linn) di dunia. Bahkan, negeri ini pernah memegang peranan penting dalam sejarah perdagangan rempah-rempah dunia melalui komoditas lada, sebagaimana tercatat dalam berita-berita perjalanan dari para penjelajah asal Tiongkok pada sekitar abad XIII-XV.
Mereka menyebut Pasai sebagai bandar perdagangan antarnegara dengan komoditas utama lada. Pada masa berikutnya, pada periode pendudukan kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia pada abad XVII-XVIII, lada disetarakan dengan emas dan dijuluki ‘king of spice’ atau raja dari segala rempah-rempah.
Di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, para warga menyandarkan hidup mereka dari perkebunan lada. Tak ada yang menyangka, wilayah darat terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia itu ternyata menyimpan kekayaan hasil bumi yang dikelola masyarakat setempat secara swadaya.
Menurut keterangan seorang petani yang juga pelaku usaha lada, Salbinus, 38, diperkirakan, sekitar 30-40 ton lada per bulan dihasilkan dari wilayah Entikong. Hasil bumi lada Entikong banyak diminati para pengusaha Malaysia. Mereka berani memberi penawaran harga lebih tinggi dari para pengusaha lokal. Iming-iming harga yang lebih tinggi dan kurangnya penyerapan di pasar lokal menyebabkan sejumlah petani memasarkan lada mereka ke negeri jiran.
Di Malaysia, lada putih kualitas terbaik dihargai RM 70 atau senilai Rp224 ribu per kilogram, sedangkan di pasar lokal hanya dihargai Rp160 ribu hingga Rp175 ribu per kilogram untuk kualitas yang sama. Tidak hanya masalah pemasaran, keterbatasan pasokan bibit dan pupuk berkualitas serta penanganan pascapanen juga menjadi kendala bagi para petani lada di Entikong.
Terlepas dari berbagai kendala, para petani serta pelaku usaha tetap meyakini lada atau yang dalam bahasa Melayu disebut ‘sahang’ itu kelak akan mampu memperbaiki taraf hidup masyarakat sekaligus mengantarkan Entikong menjadi kawasan perbatasan yang lebih baik daripada Malaysia.
Bahkan, bukan tidak mungkin kelak Entikong dapat bersaing dengan sentra penghasil lada tersohor di Indonesia seperti Bangka Belitung dan Lampung. Pun bukan mungkin, Entikong menjadi aktor utama dalam menempatkan kembali Indonesia sebagai pemasok utama lada, menggeser Vietnam yang pada 2004 lalu mengambil alih posisi Indonesia sebagai peringkat pertama pengekspor lada di dunia.
Foto dan Teks: Ismar Patrizki
Pewarta: Ismar Patrizki | Editor:
Disiarkan: 13/12/2015 19:00