PENYENGAT PULAU PEZIARAH

Pelajar menyelesaikan kaligrafi Pasal-pasal yang terdapat pada Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII (1844-1857) di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga mengamati mimbar imam usai salat Magrib di Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga menata foto Raja Haji Abdul Rahman II di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Seorang bocah berada di depan papan peta lokasi peninggalan situs sejarah, di Kampung Jambat, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga melintas di depan Istana Kantor Raja Ali Haji Yang Dipertuan Muda Riau VIII (1844-1857) di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga menyaksikan pertunjukan drama Melayu di Balai Desa Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga mengunjungi Gedung Tengku Bilik adik dari Sultan Riau-Linga terakhir di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga bersiap menunaikan salat Magrib di Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga menaiki perahu atau pongpong di Dermaga Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Peserta peragaan busana adat Melayu berada di jendela Balai Adat Indra Perkasa di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga melintas di dekat kompleks makam Raja Abdurrahman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga berziarah di makam Raja Abdurrahman di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Sejumlah bocah duduk di pelaminan khas Melayu yang dipajang di Balai Adat Indra Perkasa, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Suasana Balai Desa di Kompleks Masjid Raya Sultan Riau, di Kampung Jambat, Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Sejumlah pelajar SMP berziarah di makam Raja Ja'far di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Warga membersihkan sampah daun di dekat meriam peninggalan Kerajaan Melayu Riau di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.

Ziarah tidak selalu identik dengan berkunjung ke makam leluhur dan melakukan tabur bunga. Di Pulau Penyengat yang terletak di sebelah barat Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau dimana terdapat makam Raja-raja Melayu ini, orang lebih banyak berkunjung untuk napak tilas kejayaan Kerajaan Melayu kuno, seraya bertahajud di Masjid Raya Sultan Penyengat.

Pulau Penyengat dahulu dikenal dengan Pulau Air Tawar, karena terdapat sumber air tawar yang melimpah, sehingga para pelaut dan pedagang yang melintas di Selat Malaka pasti singgah. Hingga suatu hari pelaut yang sedang mencari air tawar dikejar binatang penyengat sejenis lebah, sejak saat itulah pulau mungil dengan luas kurang lebih dua kilometer persegi tersebut dinamai dengan Pulau Penyengat.

Ketika tiba di dermaga utama Pulau Penyengat, orang akan disambut dengan kemegahan Masjid Raya Sultan Penyengat yang bergaya arsitektur Melayu, Arab, India, Turki. Dibangun sekitar tahun 1761-1812 atas prakarsa Yang Dipertuan Muda VII, Raja Abdul Rahman. Masjid tersebut terdiri dari tiga belas kubah dan empat menara masjid setinggi 18,9 meter, diartikan sebagai jumlah rakaat dalam salat.

Konon masjid itu dibangun dengan bahan dasar campuran putih telur, kapur, pasir dan tanah liat. Masjid pertama di Indonesia yang memakai kubah itu menjadi tujuan utama kunjungan ke Pulau Penyengat hingga kini. Di dalamnya tersimpan rapi mushaf Al Quran hasil tulisan tangan Abdurrahman Stambul, putera Riau asli pulau Penyengat yang diutus oleh Sultan untuk belajar di Turki pada tahun 1867.

Gaya arsitektur Melayu-Islam dengan dominasi warna kuning dan hijau masih banyak dijumpai dalam peninggalan bangunan, gedung dan makam raja-raja dan situs peninggalan lainnya. Selain karya-karya arsitektur lahir di Pulau ini, sebuah karya sastra puisi Melayu kuno ciptaan Raja Ali Haji yaitu Gurindam Dua Belas. Sastrawan Melayu yang telah dianugerahi Pahlawan Nasional itu menyelesaikan karyanya pada 1847 Masehi di Istana Kantor Pulau Penyengat.

Kejayaan Kerajaan Melayu berangsur surut ketika raja terakhir Kerajaan Riau-Lingga, Sultan Abdurahman Muazamsyah dikalahkan oleh penjajah Belanda dan mengajak sebagian besar rakyatnya untuk meninggalkan pulau penyengat untuk hijrah ke Singapura dan Johor pada 1911, hingga menyisakan 6000 orang yang menetap di Pulau Penyengat. Namun bagi orang Melayu, Penyengat tetap merupakan Pulau Peziarahan untuk mengenang perjuangan leluhur, serta mengenal jati diri seraya mendekatkan diri kepada sang pencipta.

Foto dan Teks: Yudhi Mahatma

Pewarta: Yudhi Mahatma | Editor:

Disiarkan: 16/03/2016 20:00