MELIHAT LEBIH DEKAT WARGA ASMAT
Suara mesin dari longboat memantul dari pepohonan dan hutan mangrove saat mengiringi perjalanan menuju distrik–distrik pedalaman di Kabupaten Asmat, Papua.
Perjalanan menuju distrik hanya bisa dilewati dengan jalur sungai sebagai jalan utama yang hanya bisa dilalui oleh kapal-kapal berkapasitas kecil. Sungai bagi warga Asmat merupakan halaman rumah dan sumber dari kehidupan masyarakat.
Aliran sungai besar dengan kecil saling berkait menembus hutan bakau, sagu, kayu besi. Menurut Rene Wassing dalam bukunya Asmat Art, sungai merupakan jantung transportasi bagi warga Asmat.
Masyarakat mendirikan kampung-kampung di tepi sungai dan menjadikan sungai sebagai jalur utama transportasi menuju kampung atau distrik di Kabupaten Asmat. Selain itu, kampung yang berdiri di atas rawa dan hutan ini, menjadikan jalan papan sebagai jalan utama untuk menghubungkan antar rumah.
Kondisi tanah berlumpur dan rawa menjadi ciri khas dari kota, kampung dan distrik di Kabupaten Asmat. Sedangkan jalan yang membentang dari dermaga kota Agats hingga ke pelosok kota berupa jalan yang terbuat dari papan kayu. Sedangkan rumah atau tempat tinggal dibangun di atas permukaan lumpur untuk menghindari air pasang.
Pada dasarnya aktivitas yang berlangsung di kota Agats seperti kota-kota lainnya di Indonesia seperti sekolah, pasar, olahraga dan aktivitas pemerintahan. Namun, kota ini memiliki pembeda dari kota lainnya adalah lantai yang terbuat dari kayu papan, bahkan masyarakat Agats bermain sepak bola di lapangan yang terbuat dari papan kayu.
Sisi keunikan kota atau distrik-distrik Kabupaten Asmat, ternyata masyarakatnya hingga kini mengalami kurangnya pasokan air bersih, karena kondisi tanah yang berlumpur dan rawa, sehingga masyarakat harus mengandalkan tadah hujan yang ditampung ke dalam tangki-tangki air.
Foto dan Teks: M Agung Rajasa
Pewarta: M Agung Rajasa | Editor:
Disiarkan: 20/02/2018 21:00