MERAWAT TRADISI TUMBILOTOHE

Seorang bocah merapikan dagangan lampu minyak yang terbuat dari botol bekas di Gorontalo.
Seorang warga memegang lampu botol di lokasi Tumbilotohe, Desa Lamahu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.
Ketua Adat Limboto, Darisman Katili memegang obor usai menyalakan lampu minyak yang digantung di arkus di Gorontalo.
Lampu minyak yang digantung pada arkus usai dinyalakan oleh kepala daerah yang diiringi oleh pemangku adat di Gorontalo.
Perpaduan lampu minyak yang digantung pada susunan bambu dan lampu listrik yang dibentuk menyerupai kubah masjid di Isimu, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo.
Warga mengunjungi lokasi Tumbilotohe di Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.
Tiga anak perempuan mengunjungi lokasi Tumbilotohe di Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.
Sejumlah pengunjung melihat hamparan lampu botol yang dinyalakan dalam perayaan Tumbilotohe di Taman Menara Pakaya, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo.
Warga berfoto di hamparan ribuan lampu minyak pada perayaan Tumbilotohe di Taman Menara Pakaya, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo.
Warga berfoto di hamparan ribuan lampu minyak dan replika perahu layar pada perayaan Tumbilotohe di Tabongo, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo.
Warga berswafoto di lokasi Tumbilotohe, Gorontalo.
Warga mengunjungi lokasi Tumbilotohe di Kabila, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.
Arkus yang dihiasi dengan lampu listrik dipadukan dengan ribuan lampu botol di Tabongo, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo.
Warga berswafoto di lokasi Tumbilotohe, Desa Lamahu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.

Malam pasang lampu atau Tumbilotohe merupakan tradisi yang selalu dilakukan masyarakat Gorontalo dalam menyambut malam Lailatulkadar pada hari ketiga menjelang hari raya Idulfitri.

Tradisi ditandai dengan penyalaan lampu minyak yang digantung di arkus (gerbang kecil yang terbuat dari bambu dan janur kuning) oleh kepala daerah diringi oleh suara tetabuhan gendang oleh pemangku adat tepat setelah waktu berbuka puasa. Setiap halaman rumah, masjid, perkantoran hingga jalanan jadi terang benderang oleh cahaya lampu minyak dengan menggunakan botol ataupun obor.

Tradisi Tumbilotohe sudah berlangsung sejak abad XV yang pelaksanaannya dimaksudkan untuk memudahkan warga yang ingin memberikan zakat fitrah di malam hari dengan memberi penerangan sekaligus berarti menerangi hati manusia.

Menurut Kepala Adat Limboto atau Bate Lo Limutu, Darisman Katili, sejatinya Tumbilotohe berkaitan erat dengan empat unsur di dunia, yaitu api, tanah, air dan angin. Karenanya tradisi tersebut sejak zaman dahulu menggunakan lampu dari getah damar serta lampu minyak tanah maupun minyak kelapa yang digantung pada arkus.

Seiring waktu berjalan, sejumlah masyarakat Gorontalo di berbagai wilayah kabupaten dan kota di daerah itu mulai merayakan Tumbilotohe dengan menyalakan lampu listrik hias sehingga makin menambah semarak suasananya. Tidak hanya di halaman rumah, jalanan di Gorontalo pun bersolek dengan aneka warna lampu hias.

Meski sempat memunculkan persoalan tentang digunakannya lampu listrik karena dapat menyalahi tradisi lampu minyak, namun akhirnya masyarakat mempergunakan kedua jenis lampu itu untuk dipadukan menjadi atraksi yang menarik banyak pengunjung dari berbagai daerah.

Bahkan kini di sejumlah wilayah dijadikan lokasi khusus wisata lampu dengan atraksi lampu hias yang menarik untuk dijadikan latar berswafoto bagi pengunjung.

Semua itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga tradisi Tumbilotohe yang telah menjadi ikon Gorontalo itu tetap menarik dan menjadi kebanggaan masyarakatnya.


Foto dan Teks: Adiwinata Solihin

Pewarta: Adiwinata Solihin | Editor:

Disiarkan: 21/06/2018 16:00