SUKU BAJO SEA GYPSY YANG HIDUP HARMONI DENGAN LAUT
"Ayooo", ujar Taha berteriak lantang. Dengan bertelanjang dada sambil mengangkat senjatanya Taha meluncur dengan sampan kecilnya, mengarungi perairan pesisir Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi menuju ke arah tubir laut.
Di sana terdapat tebing karang, yang membatasi laut dangkal dan laut dalam. Di sanalah pekarangan terumbu karang, tempat berbagai macam ikan yang akan menjadi buruannya. Yang dicari oleh Taha hanyalah ikan besar, boleh jadi kerapu, tongkol, gurita, baronang, atau bahkan tuna yang berukuran setengah badan Taha.
Taharudin nama lengkapnya, merupakan seorang nelayan dengan keahlian menangkap ikan dengan menyelami laut menggunakan tongkat kayu dan anak panah, keahlian yang melegenda dari Suku Bajo.
Suku Bajo belakangan menjadi perbincangan khalayak setelah sutradara James Cameron menyatakan bahwa inspirasi film Avatar: The Way of Water tersebut berasal dari orang laut di Indonesia yang tak lain adalah Suku Bajo. Suku yang tinggal di rumah panggung dan hidup di atas rakit.
"Dan, kami melihat beberapa desa dengan jalur air,†ungkap Cameron dalam petikan wawancara dengan National Geographic yang tersiar di akun Instagram Kemenparekraf.ri akhir Desember 2022 lalu.
Suku Bajo dikenal sebagai 'Sea Gypsy' atau suku/masyarakat yang hidup di laut. Sebab kehidupan kesehariannya memang menyatu dengan laut. Dahulu kala, orang-orang Bajo terbiasa hidup di atas perahunya (nomaden).
Sebagian ilmuan menyebut mereka berasal dari Kepulauan Sulu Filipina dengan nama Suku Bajau atau Suku Sama. Sementara populasi terbesar di Indonesia berada di pesisir Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara yang mencapai sekitar 20 ribu jiwa.
Seiring berjalannya waktu, banyak orang Bajo membangun rumah di atas laut dangkal. Bahkan banyak di antara mereka juga telah mendirikan rumah di daratan namun tetap berada di sekitar pesisir laut. Mata pencaharian utama masyarakat Suku Bajo adalah nelayan yang masih menggunakan cara-cara tradisional, seperti memancing, menjaring, dan memanah.
Sejak kecil anak-anak Suku Bajo sudah dikenalkan dengan laut, membuat mereka memiliki kemampuan tersendiri dalam hal berenang dan menyelam. Seperti halnya Taha, para pemanah ikan Suku Bajo mampu menyelam untuk mencari ikan hingga kedalaman 70 meter di bawah laut dengan menahan nafas hingga 13 menit tanpa bantuan alat pernapasan.
Taha mengaku hanya memanah ikan yang berukuran besar untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan di laut. Alih-alih menggunakan bom ikan, ia lebih memilih menggunakan umpan ikan kayu yang dibuat seolah-olah hidup atau membuat gurita tiruan dengan bahan yang memancarkan cahaya untuk mengelabui buruannya ketika memancing.
"Laut ini adalah ladang bagi Suku Bajo, mereka menjaga dan mengolah ladang ini, demi kehidupan berkelanjutan, supaya ikan-ikan tetap ada hingga anak cucu mereka," kata Samran, Ketua Koperasi Nelayan di Desa Mola Raya Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Wakatobi.
Ketika pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mencanangkan lima program prioritas berbasis ekonomi biru dengan konsep keberlanjutan, yakni memperluas wilayah konservasi hingga 30 persen perairan Indonesia, penangkapan ikan terukur, budidaya ikan yang ramah lingkungan, penataan ruang laut untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut, serta Bulan Cinta Laut (BCL). Maka sejatinya program ekonomi biru yang berdasar pada keberlanjutan sumber daya alam laut itu sudah diterapkan oleh Suku Bajo sejak dulu kala.
Foto dan Teks: Indrianto Eko Suwarso
Editor : Nyoman Budhiana
Pewarta: Indrianto Eko Suwarso | Editor:
Disiarkan: 24/02/2023 20:35