Menjaga sumber pangan dan hutan ala suku Dayak Pitap
Desa Kambiyain di Pegunungan Meratus, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan memiliki keindahan dan kekayaan alam yang melimpah. Desa yang letaknya sekitar 179 kilometer dari Kota Banjarbaru, Ibu Kota Kalimantan Selatan itu merupakan satu dari lima desa yang menjadi tempat bermukim masyarakat suku Dayak Pitap. Bersama dengan empat desa lain, yakni Desa Ajung, Desa Mayanau, Desa Langkap, dan Desa Dayak Pitap, komunitas tersebut memiliki wilayah adat seluas 22.806 hektare.
Beberapa kilometer sebelum memasuki wilayah pedalaman desa itu, orang akan terpukau dengan keindahan pemandangan aliran anak Sungai Pitap hingga rimbunnya hutan hujan tropis dengan iringan kicauan berbagai jenis burung, termasuk burung Kacamata Meratus (Zosterops meratusensis) yang terbang bebas di udara sejuk dan bersih dari polusi.
Kelima desa itu juga kaya akan hasil pertanian. Umumnya, mereka menanam padi, ubu-ubian, dan kacang-kacangan, beragam jenis sayuran, seperti cabai, tomat, terung, jengkol, hingga petai. Selain itu mereka juga menanam pohon buah-buahan, seperti duku, pisang, cempedak, dan buah lai.
Di samping bercocok tanam, masyarakat setempat juga mencari hasil hutan seperti kemiri, karet, pinang, damar, rotan, madu, maupun gaharu.
Salah satu keistimewaan masyarakat Dayak Pitap yaitu setiap keluarga memiliki lumbung gabah dengan berbagai kapasitas penyimpanan dari 3 ton hingga 5 ton. Lumbung itu dapat menampung gabah hasil panen dari sawah mereka yang dijadikan stok pangan hingga sekitar tiga tahun.
Mereka sejak dahulu tetap mematuhi pesan leluhur untuk tidak memperjualbelikan bibit padi maupun gabah hasil panen tersebut karena hal itu dipercaya bakal mendatangkan petaka kepada mereka sendiri maupun pihak yang membelinya. Jika ada yang membutuhkan, mereka akan saling berbagi dengan sejumlah syarat ritual adat.
Menurut Kepala Desa Kambiyain Anang Suriani (39) masyarakat Dayak Pitap tidak pernah terpengaruh dengan fluktuasi harga maupun pasokan beras dari luar, seperti yang sering terjadi di daerah lain di Indonesia.
"Berbagai jenis pangan telah tersedia dari alam di wilayah hutan adat kami, buat kami, bertani dan membuka ladang secara tradisional adalah bagian dari ritual kepercayaan adat serta menjaga hutan adat beserta isinya adalah sebuah kewajiban, bagian dari kehidupan yang diwariskan turun temurun dari leluhur kami," katanya.
Namun belakangan ini, masyarakat Dayak Pitap khawatir kekayaan alam di wilayahnya terancam. Berbagai ancaman mulai dari dibukanya usaha pertambangan hingga perkebunan kelapa sawit membuat hidup mereka tak tenang. Tambang batu bara terdekat dari wilayah itu berjarak sekitar 15 kilometer.
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyebut, pada periode 2010-2022, terjadi penurunan luasan lahan di Kalimatan Selatan. Luas hutan primer misalnya, turun sebesar 13.000 hektare, luasan hutan sekunder turun sekitar 116.000 hektare, luasan sawah dan semak belukar masing-masing turun sekitar 146.000 hektare dan 47.000 hektare. Sebaliknya, area perkebunan meluas cukup signifikan yakni 219.000 hektare.
"Kita seharusnya menyadari untuk menjaga bersama bentang alam Pegunungan Meratus dari alih fungsi lahan yang merusak, semuanya harus diperketat demi alam ini, bumi ini, untuk anak cucu kita nanti," kata Anang.
Teks & Foto: Aji Styawan
Editor : Nyoman Budhiana
Pewarta: Aji Styawan | Editor:
Disiarkan: 08/05/2024 12:17