Sekaratnya Sepakbola Indah

Hadirnya para pelatih asing lawas yang menjadi arsitek sejumlah kesebelasan nasional dalam belantara Piala Dunia 2010 tentu bukanlah hal negatif yang harus dianalisis dengan terlalu serius sehingga permainan dalam

Piala Dunia menjadi hiburan yang mesti disaksikan dengan kening berkerut dan wajah bermuram durja. Sepakbola adalah kegembiraan yang improvitatif. Meskipun demikian kehadiran mereka, pelatih lawas yang umumnya sangat takut kalah itu, pantas di curigai sebagai biang kerok dari kembalinya sepakbola negatif di ranah Afrika yang untuk pertama kalinya dipercaya menjadi ajang olahraga terakbar sepanjang masa.

Di tanah Afrika, tepatnya di Soccer City Stadium, Johannesburg, Jumat (11/6) malam (21.00 WIB), akan bergulir bulan sepakbola sejagat. Kesebelasan tuan rumah yang dijuluki Bafana-Bafana akan membuka turnamen raksasa itu menghadapi kesebelasan Meksiko. Penonton langsung (plus miliaran pasang mata di seluruh muka planet bumi) acara olahraga extravaganza itu mulai masuk pada belantara misteri sepakbola yang akan menyihir perhatian masyarakat seluruh dunia. Paling tidak sebulanan ini.

Untuk sementara, perhelatan luarbiasa ini dipastikan akan menyita perhatian media-media cetak dan elektronik. Bersyukurlah Kementriaan Keuangan RI dimana Ditjen Pajak menjadi bagiannya, lalu Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, kasus Lapindo, Sekber Koalisi, kasus Century dan tentu saja juga heboh video porno (kayak nggak ada kerjaan lain yang lebih penting) yang sedang in sekarang, untuk sementara pasti kabarnya akan tersalib pemberitaan Piala Dunia yang menghadirkan pertarungan hegemoni emporium sepakbola sejagad raya.

Betapa tidak, ritual empat tahunan sekali ini akan menghadirkan Piala Dunia 2010, pemuncak karya organisasi paling berkuasa di seluruh dunia, namanya FIFA. Federasi Sepakbola Dunia yang kini menjadi harapan 208 anggota yang mewakili negaranya (termasuk Indonesia). Bandingkan dengan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang hanya menjadi induk 192 negara berdaulat di seluruh permukaan bumi. Badan Dunia letoy yang tak berkutik terhadap akrobat-akrobat kekerasan yang dilakukan salah satu anggotanya yang bernama Israel.

FIFA yang kini dinakhodai Sepp Blatter adalah satu-satunya organisasi (olahraga) dunia yang paling stabil, berwibawa dan dipatuhi secara mutlak oleh anggotanya. Perserikatan sepakbola yang mewakili negara anggota yang membalelo langsung ditindak. Negeri macam Kuwait dan Polandia yang pernah coba membandel pernah dikeluarkan dari keangotaan FIFA, kendati kemudian diterima kembali namun kepala negaranya harus turun minta maaf sebelum mereka harus memperbaiki kesalahan elementernya, entah politis entah administratif.

Penantian untuk secara sukarela terjerumus dalam misteri belantara sepakbola yang penuh tanda tanya itu akan segara digulirkan kurang dari 24 jam mendatang. Tepatnya ketika wasit Ravshan Irmatov dari Uzbekistan meniupkan peluit tanda kickoff harus dilakukan. Itupun setelah upacara pembukaan yang gempita gemerlapan dilaksanakan dihadapan Sepp Blatter, presiden Afsel Joseph Zuma, para petinggi dari 32 negara peserta, presiden federasi FIFA regional, tokoh-tokoh dunia dan tentunya legenda hidup demokrasi Afrika, Nelson Mandela.

Di hadapan Mandela, kesebelasan Bafana-bafana yang berseragam hijau dan kuning seperti warna dasar bendera kebangsaan mereka, akan berlaga melawan petarung-petarung dari Meksiko. Ini adalah semacam tafsir baru dari pertempuran berdarah yang tercatat dalam epos sejarah dua bangsa. Di seluruh Afrika Selatan ketika Mandela memimpin gerakan perlawanan menghapuskan apartheid di ranah tumpah darah mereka. Suatu gerakan yang melahirkan keberadaan Afrika Selatan seperti sekarang ini. Gerakan pembebasan yang berpusat beberapa blok dari stadion megah yang dibangun menyerupai calabash, pot ala Afrika tersebut.

Sementara semangat pejuang sekelas Emiliano Zapata (1879-1919) menumbangkan diktator Porfirio Diaz yang menjajah kebudayaan dan menghisap darah bangsanya sendiri tentu melekat di hati pemain-pemain Meksiko. Setidaknya nama Zapata ada di lubuk kalbu hati para pesepakbola dan jiwa orang-orang Meksiko sekarang ini, termasuk para pendukung gerakan revolusioner yang menamai gerakan rakyat mereka dengan nama Zapatista. Suatu front perlawanan yang menjadi symbol kekuatan rakyat Meksiko yang tertindas.

Kelebihan kesebelasan Meksiko adalah kekompakan mereka sebagai tim nasional, anggota tim sombrero tersebut merumput di mancanegara tidak sebagai atlet bola yang secemerlang Ronaldo dan Kaka. Namun di bawah panji kesebelasan nasionalnya, mereka kerap tampil trengginas. Apalagi sejak Javier Aquirre masuk menangani tim dari petualangannya yang cukup sukses di Atletico Madrid. Bola menyusur tanah, umpan pendek dan pergerakan pemain yang mobil membuat Meksiko sangat pantas berbicara di grup A yang beranggotakan juga Perancis dan Uruguay tersebut.

Nama Rafael Marquez yang belakangan menurun di Barcelona tampaknya akan tetap mengawal pertahanan Meksiko, sementara penyerang legendaris Meksiko yang sudah uzur Cuauhtemoc Blanco (37) bakal diplot sebagai playmaker kesebelasan yang di harapkan bisa menyala dan terbakar seperti tequila yang masuk tenggorakan pada musim semi. Mereka harus adu jitu mengirim umpan dengan anak-anak muda Afsel macam Steven Pienaar yang merumput di Everton dan Bernard Parker yang lagi naik daun sebagai penyerang Twente yang baru merebut juara Belanda di bawah pelatih Steve McLaren, mantan arsitek timnas Inggris.

Meskipun nama pelatih Afsel bisa dikatakan adalah jaminan mutu, namun Carlos Alberto tetaplah berada dalam kursi panas jabatan pelatih kepala tim bafana-bafana yang diharapkan berbicara banyak mewakili rakyat Afrika di benua hitam itu. Tak cukup Carlos sebagai nama besar yang pernah memenangi Piala Dunia untuk tim samba Brazil, tiba-tiba membalikkan telapak tangannya untuk membawa bafana-bafana melancong sampai jauh. Ketimbang Aquirre yang impulsif di kubu Meksiko, namun perintahnya dipatuhi melalui Blanco yang sudah kenyang makan asam garam kehidupan sepakbola Meksiko.

Jika menilik gerakan Mandela dan Zapata di masa silam, dapatlah diharapkan pertarungan di grup ini harus dimenangkan. Karena Perancis dan Uruguay adalah kandidat yang mungkin mendadak panas justru karena belakangan kerap dicemooh oleh publiknya sendiri. Motivasi sebagai anggota timnas tentulah menjadi kesempatan untuk membuktikan eksistensi mereka sebagai individu bola yang pantas meraih prestasi tertinggi.

Saat Ravshan Irmatov meniupkan peluit tanda pertandingan berakhir, skor bisa saja kacamata alias seri, karena pertandingan pembuka adalah pertarungan yang belum panas dan jadi ajang yang penting selamat. Dia seperti bayi dalam inkubator yang lahir belum cukup umur. Jika itu yang terjadi, artinya nama Carlos Perreira dan Javier Aquirre bisa jadi akan menjadi indikator subyektif perihal kemana permainan Piala Dunia di Afrika Selatan ini bakal dibawa. Negatif ala Italia atau atraktif macam kesebelasan Belanda?


* Oscar Motuloh adalah kurator Galeri Foto Jurnalistik ANTARA dan penikmat sepakbola

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 10/06/2010 17:40