Belanda atau Spanyol, atau Afrika?
Demam panggung perdana baru saja usai. Kesebelasan Afrika Selatan akhirnya gagal mempertahankan keunggulannya atas Meksiko, sehingga harus puas dengan skor akhir 1-1, di City Soccer Johannesburg, Jumat malam. Meskipun pelatih Carlos Alberto Perreira, dalam konferensi pers usai laga menyatakan cukup puas dengan hasil itu, namun seperti ada firasat sebelumnya yang menyiratkan bahwa tim bafana-bafana bakal mengawali laga pembukaan tanpa dukungan Dewi Fortuna.
Bermula dari gagalnya tokoh demokrasi Afrika dan dunia, Nelson Mandela, untuk hadir dan memberi dukungan langsung atas perjuangan kesebelasan kesayangannya, bafana-bafana, yang bertarung melawan Meksiko sekaligus menandai bergulirnya turnamen sepakbola paling akbar sejagad, di Soccer City, Johannesburg tersebut. Mandela terpaksa tak datang karena seorang cicitnya, meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas di Soweto usai menonton konser menyambut Piala Dunia. Sang cicit kesayangan, Zenani Mandela, pas berusia 13 tahun pada 9 Juni lalu.
Meski penampilan perdana Afsel tak terlalu buruk, tampaknya Carlos Alberto bakal memperbaiki lini belakang dan kecanggungan lapangan tengah mereka. Usai gol indah yang dibuat Sisiphe Tsahabalala pada menit ke 55, laga menjadi terbuka, sampai gelandang elegan Meksiko yang bermain di Barcelona, Rafael Marquez berhasil memperdayai kiper Itumeleng Khune yang bermain sangat cemerlang. Bagaimanapun partai pembuka tersebut tetap menarik untuk ditonton, ketimbang partai kedua yang mempertemukan dua mantan juara dunia, Uruguay dan Perancis yang luarbiasa menjemukan penampilannya. Skor kacamata bisa menggambarkan itu.
Setelah laga itu, maka tuntaslah permainan 2x45 menit perdana buat seluruh anggota grup A. Langkah awal memang selalu sulit, bagaimanapun hasilnya. Kata orang-orang tua, ...selanjutnya akan lancar dan mudah... Begitulah kehidupan yang senantiasa membutuhkan upaya, sama sebangun dengan blantika sepakbola yang selalu memerlukan inspirasi untuk menghidupkan harapan. Turnamen panjang macam perhelatan Piala Dunia selalu mendebarkan hati masyarakat penikmat sepakbola seantero planet bumi sekalian.
Hari-hari di babak penyisihan ini, 32 kesebelasan elite memang hadir di Afrika untuk mewakili umat manusia pencinta sportivitas berdasarkan zona regional ala FIFA di permukaan bumi serwa sekalian alam. Mereka mulai berlaga secara marathon demi sehelai tiket ke Afrika Selatan sejak usainya penganugerahan Italia sebagai kaisar emporium sepakbola dunia, empat tahun silam. Partai final yang sama sekali tak pantas dikenang.
Selain karena permainan negatif dari Perancis dan Italia, masih ada bumbu tandukan legenda hidup Perancis Zinadine Zidane ke dada biang kerok Italia bernama Matrix, alias Marco Materazzi, bek jangkung penuh tattoo yang dikenal impulsif dan pandai sekali memprovokasi lawan. Zizou yang santun dan kharismatis itu akhirnya beroleh kartu merah setelah akting sempurnanya, yakni menjatuhkan diri sambil meringis kesakitan, mendapat simpati pengadil di lapangan hijau.
Pertarungan tanpa inspirasi dua juara dunia itu kemudian harus diakhiri dengan acara duabelas pas, alias adu penalti, dimana Gianluigi Buffon yang tengah dalam form menjadi pahlawan, sehingga kapten Fabio Cannafaro berhasil menggapai mimpinya untuk mengangkat tinggi-tinggi trofi Piala Dunia. Italia juara dunia untuk ke empat kalinya. Dia berteriak dengan lantang, seolah mengekspresikan betapa akhirnya dia terbebaskan dari neraka cattenacio yang diterapkan Marcello Lippi di paruh perpanjangan waktu sebelum adu penalti.
Karenanya, bukan karena perhelatan mega-akbar empat tahunan tengah berlangsung di ranah Afrika, namun pengorbanan Nelson Mandela dan para pengurus Sepakbola Afsel yang memperjuangkan dengan sungguh-sungguh agar FIFA yakin saat menetapkan Afsel sebagai penyelenggara, seyogyanya memperoleh kompensasi yang setimpal secara prestasi. Presiden Jacob Zuma, dan tentunya sang legenda hidup, Madiba alias Nelson Mandela, tanpa tedeng aling-aling mencanangkan bafana-bafana bukan tim penggembira.
Mereka harus menjuarai turnamen Piala Dunia yang untuk pertama kalinya berlangsung di tanah air mereka. Kesempatan yang mungkin tak akan terulang minimal 30 tahun ke depan. Sekarang atau tidak sama sekali, senandung lirih dari mendiang Elvis Presley yang menjadi hit pada awal dekade 1960. Dua tahun sebelumnya Brazil untuk pertama kalinya menjadi juara dunia dengan penuh gaya dan aksi yang sangat menghibur. Dan cap ini tak pernah lekang hingga sekarang. Sepakbola bukan sekadar permainan kata Sepp Blatter pada upacara pembukaan, dia adalah perekat di antara umat manusia.
Saat itu Brazil untuk pertama kalinya menurunkan striker belia yang kemudian membawa negeri jajahan Portugis itu berjaya di seantero jagad raya ini. Pele kemudian tercatat sebagai legenda hidup yang pernah merebut tiga Piala Dunia dari empat kali kehadirannya. Setelah itu Brazil terus menjadi panji-panji sepakbola indah. Yang haus kemenangan, namun juga fasih memperagakan adegan sirkus yang penuh dengan magic dan sulap bola di lapangan. Setelah itu mereka sendyakalaning, kehilangan jiwa seninya sampai dua dekade berikutnya.
Dekade 1970-an, kelihatannya kesebelasan kuda hitam, Belanda, mengambil alih pentas. Mereka merubah lapangan permainan menjadi ruang simfoni berumput hijau, dengan dirigen Johan Cruijff dan pemain penuh talenta macam Johan Neeskens, Johny Rep, Rob Rensenbrink, Ruud Kroll dan kipper modern Jan Jongbloed, mereka membuat warga sepakbola dunia menganga, sambil berdecak kagum menikmati hiburan sepakbola modern kesebelasan oranye van Nassau itu.
Publik jatuh cinta setengah mati dan jadi jumawa seraya memastikan Belanda pasti bakal jadi juara baru sebelum turnamen berakhir. Mereka sepertinya memang tak tertahankan. Di penghujung undakan, Jerman Barat menelikung mereka dengan sekonyong-konyong dan menikam mereka hingga ajal. 1974 adalah harinya Franz Beckenbauer cs. Selamat tinggal Belanda dan revolusi legendaris Rinus Michels bernama Total Football! Saat mereka toh berhasil mencapai final pada 1978 di Buenos Aires tanpa Cruijff, takdir tampaknya menentukan garis tangan bahwa mereka hanyalah spesialis partai final.
Pelatih kawakan Belanda asal Ernst Happl, hanya terlihat nelangsa menyaksikan filsuf sepakbola Argentina Cesar Luis Menotti berhamburan ke lapangan bersama Leopold Luque, Mario Kempes, Daniel Bertoni serta pemain lain, saat wasit meniupkan peluit panjang tanda Belanda harus bersabar menanti waktu yang tepat untuk jadi kampiun. Piala Dunia milik Argentina. Meskipun tak seindah Argentina versi Diego Maradona, namun mereka berhasil merengut Piala Dunia untuk pertama kalinya di ranah kelahiran pejuang Che Guevara. Yang wajahnya menghiasi lengan kanan atas Sang Tangan Tuhan dan memimpin Argentina dalam tim Piala Dunia kali ini.
Setelah keharuman sepakbola Belanda, sang juara tanpa mahkota, maka saatnya sepakbola indah bangkit kembali untuk merebut kembali supremasi dunia. Selecao datang menguasai dekade 1980-an, Brazil tiba dengan atlet penuh talenta seperti Socrates, Zico, Junior, dan Falcao, dengan bimbingan pelatih yang sangat mendewakan permainan indah, Tele Santana. Mereka bermain sepakbola indah. Penonton tersihir, namun statistik begitu berkuasa dan berhasil menekuk mereka. Lebih parah lagi, mereka bahkan tak mampu menyentuh garis final. Dipecundangi Italia yang defensif dan Perancis yang justru bermain dengan gaya indah mereka.
Selanjutnya sepakbola kembali ke habitat permainannya yang monoton, kecuali Perancis yang secara mengejutkan menghempaskan tim favorit Brazil dalam partai final di kota Paris pada Piala Dunia 1988. Hingga detik ini, boleh dong, jika para pencinta sepakbola mengharapkan hadirnya juara baru yang mengejutkan seperti saat Yunani jadi raja Eropa tempo hari. Bosan juga melihat Piala Dunia hanya menjadi hegemoni Brazil, Italia, Argentina, Inggris, Perancis dan Jerman.
Bola Jabulani itu bundar, pertanda misterius dan penuh teka-teki. Barangkali inilah kesempatan ketiga bagi Belanda untuk naik tahta di partai final, atau kali ini giliran Spanyol yang tengah bagus-bagusnya, dan bisa juga salah satu wakil Afrika, jangan-jangan malah tim tuan rumah yang beroleh kampiun sehingga Madiba, sebutan akrab Nelson Mandela, bisa merayakan ultahnya yang ke 92 dengan bahagia, tepat sepekan usai final Piala Dunia yang di gelar pada 12 Juli di Soccer City Stadium dimana laga Afsel versus Meksiko semalam dilangsungkan.
Sekarang atau tidak samasekali
Datang dan peluklah daku
Kecup aku kekasih
Jadilah kau milikku malam ini
Besok semuanya telah terlambat
- Elvis Presley (penggalan lirik Its Now or Never dibuat Aaron Schroeder dan Wally Gold)
oscar motuloh
Kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 12/06/2010 12:25