Jabulani Nakal Bikin Malu Inggris
Bukan Messi, bukan Milito. Minggu pagi ini, headline suratkabar di seluruh Korea Selatan pastilah memampang wajah gelandang bertenaga kuda dari Manchester United, Park Ji-sung yang berhasil memperdaya lini belakang Yunani. Memanfaatkan bola liar dari Loukas Vyntra, Ji-sung secepat kilat menyambarnya, melewati bek tengah dan partnernya Papadopoulos, sekaligus mematikan kiper Alexander Tzorvas dengan melesakkan Jabulani menyilang di sudut gawangnya. Skor 2-0 buat para pejuang Taeguk, pada menit ke 52. Gol yang merontokkan perlawanan negeri yang tengah dilanda tsunami ekonomi itu.
Juara Eropa 2004 itu bermain melempem, tak bertenaga. Saat musik lagu kebangsaan masing-masing negara diperdengarkan, wajah pemain-pemain Yunani tak memperlihatkan sedikitpun semangat tempur seperti milik Achilles atau Odyseus yang digambarkan begitu berkarakter dalam mitos-mitos Yunani kuno. Mereka bertarung setengah hati. Bahkan sang kaisar bernama Otto Rehhagel sekalipun, tak mampu memotivasi mereka di ruang ganti. Buktinya, Yunani tekor lagi satu gol setelah 7 menit babak kedua dimainkan. Gara-gara gol Ji-sung tadi.
Jalan memang masih panjang, namun kesebelasan Yunani menambah deret ukur jawara-jawara macan kertas di laga-laga perdana mereka. Sehari sebelumnya, gemerlap bintang-bintang Perancis mendadak temaram ketika Diego Forlan dkk yang bermain tak kalah buruknya mampu menahan gempuran tak bergigi penyerang-penyerang Perancis. Bahkan ketika Uruguay bermain dengan hanya 10 pemain sejak menit ke-80. Di pinggir lapangan, pelatih gaek Raymond Domenech hanya dapat berteriak-teriak, seperti badut sirkus yang mengenakan wig berwarna putih macam bangsawan-bangsawan Versailles jaman Raja Matahari masih berkuasa.
Untunglah turnamen akbar sekelas Piala Dunia ini masih terselamatkan pamornya oleh seniman-petarung macam Park Ji-Sung itu. Masih kental dalam ingatan bagaimana Laudrup bersaudara dan sejawatnya di tim Denmark pada Piala Dunia 1998 Perancis, menyuguhkan permainan luar biasa kreatifnya saat berhadapan dengan Brasil dengan Rivaldo, Romario dan Bebeto yang bermain tak kalah lepasnya. Meskipun gawang Peter Schmichael kebobolan tiga gol namun Brasil hanya mampu menang 3-2. Dari laga itu, pencinta sepakbola dunia yakin bahwa Brasil bakal meraih lagi trofinya. Meskipun fakta berkata lain, namun partai itu dikenang sebagai salah satu partai terbaik Piala Dunia sepanjang masa.
Korsel menghidupkan Piala Dunia, sekaligus mengangkat harkat bangsa Asia, di tanah Madiba. Mereka adalah petarung yang mengerti apa yang sedang mereka mainkan. Seperti saingan mereka di grup B, Argentina, yang berlaga melawan tim non unggulan Nigeria yang kerap dijuluki juga sebagai Elang Super. Meskipun Argentina akhirnya menang 1-0, lewat tandukan bek kiri Gabriel Heinze pada menit ke 5, Nigeria bertarung dengan gagah perkasa. Selanjutnya gelombang serangan Argentina datang silih berganti, mereka menembak ke gawang sampai 20 kali. Untung ada kiper bertubuh tinggi besar di bawah mistar, Vincent Enyeama.
Seperti kiper Afsel Itumeleng Khune yang gemerlap pada laga hari pertama, Enayama yang bermain di klub Hapoel Tel Aviv, benar-benar membuat Gonzalo Higuaian dan Lionel Messi Cuma bisa gigit jari, seraya mengeleng-gelengkan kepala tanda hormat kepada Enyeama yang luar biasa di bawah mistar Nigeria. Setelah gol Heinze, maka Nigeria perlahan tapi pasti mulai menemukan formnya dan melawan Argentina dengan serangan-serangan berguliran. Fans Argentina mulai ketar-ketir, padahal sebelumnya mereka yakin Nigeria bakal dibekap dengan mudah. Pelatih Argentina, Diego Maradona yang membiarkan jenggot dan kumisnya tumbuh lebat . mirip Saddam Hussein ketika ditangkap pasukan koalisi - memandang medan rumput tempat berlaga dengan wajah was-was.
Maradona di bench adalah Diego yang lain. Dia mondar-mandir meneriakkan aba-aba kepada anak buahnya di lapangan. Gayanya mirip penampilan Ozzy Osbourne di pentas rock. Sangar tapi jenaka. Apalagi Maradona mengenakan jas yang tampak kedodoran. Mungkin karena nomornya kebesaran untuk tubuhnya yang tambun bak beruang kutub. Sementara di bench Nigeria, pelatih tinggi besar asal Swedia, Lars Lagerbeck berdiri lebih tenang, mengenakan training berwarna hijau, mengamati dari kejauhan anak-anaknya bertarung dengan gagah berani. Dia berdiri seperti panglima Viking yang tengah mengawasi pertempuran sambil berharap wahyu dari Odin di Valhalla.
Hiburan belumlah berakhir. Dalam pertarungan perdana di grup C, kejutan besar terjadi, ketika kesebelasan anak bawang, AS, berhasil bermain luarbiasa untuk mengimbangi salah satu favorit juara tahun ini, Inggris. Kesebelasan dari tanah kelahiran sepakbola itu begitu gemerlapnya karena semua anggotanya adalah selebritis olahraga yang amat terkenal. Belum lagi di deretan staf pelatih ada David Beckham yang duduk tenang dengan jas kelabu lengkap berlogo tiga singa di dada kirinya.
Anak-anak Paman Sam ternyata berhasil memainkan taktik yang jitu untuk mengatasi gaya Inggris era Fabio Capello yang sesungguhnya masih jauh dari menarik untuk ditonton. Tak jelas, apakah karena Don Fabio memang pelatih pragmatis yang lebih mengacu pada hasil. Dia mirip dengan Jose Mourinho, pelatih arogan yang baru memenangi Piala Champions untuk klub Inter Milan. Atau karena dia belum juga mampu meramu dan menetapkan tim inti Inggris dengan talenta yang sedemikian berlimpah. Kejutan telah dimulai Capello sebelum kick-off.
Buktinya, dia tak menurunkan Davy James sebagai kiper utama. Di lapangan justru Robert Green dari West Ham United yang mengenakan kostum penjaga gawang berlari dengan sejawatnya ke lapangan hijau untuk menghormat penonton dan bersiap mendengarkan lagu God Save the Queen dikumandangkan. Di kubu AS, Tim Howard sejawat Green yang juga bermain di Liga Primer untuk Everton berjalan ke bawah mistar yang akan di jaganya. Empat menit kemudian, kapten Inggris Steven Gerrard berhasil mengirimkan umpan yang diperolehnya dari Emile Heskey, ke pojok gawang Howard. Inggris unggul 1-0.
AS segera bangkit memperbaiki celah-celah pertahanannya. Sementara gol dari Inggris sepertinya tinggal menunggu waktu. hooligan Inggris gemuruh minta gol tambahan. Pelatih AS Tom Bradley sudah paham benar gaya permainan Inggris yang tetap mengandalkan pergerakan dua sayapnya, Ashley Cole di kiri dan Glen Johnson di kanan untuk mengirim umpan ke garis gawang Howard. Maka dipasanglah Michael Bradley, Ricardo Clark dan Clint Dempsey dengan komando serang dari Landon Donovan yang bersinar di Everton dan sarat dengan pengalaman bertanding.
Sampai lima menit menjelang bubaran babak pertama, Dempsey memperoleh ruang tembak dan mengirim satu tendangan yang sesungguhnya tak bebahaya karena tepat mengarah ke Green yang kelihatannya akan mudah menjinakkan sang bola. Lalu terjadilah keajaiban itu. Saat bola akan ditangkap Green, tiba-tiba Jabulani berputar arah, menyentuh sebentar sarung tangan kiper naas itu, sebelum dia melintir ke samping, dan menggelinding perlahan tapi pasti, melewati garis gawang Green.
Green yang sesungguhnya tak terlampau buruk penampilannya malam itu mencoba bergerak mengejar Jabulani nakal, yang ternyata lebih cepat melewati garis gawang ketimbang gerakan lamban Green. Skor 1-1, pada menit ke 40. Capello seperti tak percaya, dia menoleh ke tribun penonton. Pasti semua fans dan hooligan Inggris mempersalahkan dirinya ketimbang Green. Kenapa tak memasang Davy James sejak awal yang sudah ketahuan sarat makan pengalaman di sejumlah arena laga, meskipun James kerap membuat blunder yang tidak kalah bodohnya.
Blunder fatal selalu akan mengiringi perjalanan seorang kiper bagaimanapun menakjubkan penampilannya dalam pertandingan-pertandingan sesudahnya. Dia akan menjadi mimpi buruk yang tak bertepi bagi sang atlet. Tayangan ulang yang repetitif di layar televisi memperlihatkan seolah-olah betapa pandirnya Green yang terseok, merayap mencoba meraih Jabulani yang perlahan menyentuh garis gawang. Mimpi buruk yang sangat sulit dihapuskan dari benak Green barangkali seumur hidupnya.
Pada pers usai laga, Howard membela Green, .saya dapat merasakan kegagalan itu, namun saya percaya Green akan segera bangkit. Dia kiper hebat.. Mereka berdua kerap bertemu di luar lapangan stadion Royal Bafokeng, Rustenburg. Karena keduanya adalah kiper terkenal di Liga Primer Inggris. Yang jelas, hingga Aljazair sua Slovenia petang hari ini, peluang masih sangat terbuka di grup C. Laga masih panjang. Akankah para tim underdog mampu membuat kejutan selanjutnya, seperti yang dilakukan Korsel dan AS?
oscar motuloh
Kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)
(Foto: Robert Green, ANTARA/Reuters/Brian Snyder)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 13/06/2010 19:37