DUA SISI BROMO
"Earth provides enough to satisfy every man's need, but not every man's greed"
- Mahatma Gandhi (1869-1948)
Vulkanis memberi kita sekaligus gambaran filosofis perihal kehidupan. Dia tak sekadar menyimbolkan bentuknya yang meruncing seolah menerobos cakrawala nun tinggi di atas sana. Mysterium negativum. Kawasan gunung berapi selalu menyertakan dua sisi berbeda dari mata uang yang sama. Sisi terangnya memberi berkah dan menyuburkan mata pencaharian masyarakat sekitar yang telah turun temurun menetap di sana. Bagi orang-orang Tengger berdasar kepercayaan yang mereka anut, keseimbangan alam selalu mereka maknai dengan ketulusan pemahaman pada konsep kepercayaan yang mereka yakini. Sisi gelapnya adalah angkara yang termuntahkan dari gunung keramat, Bromo, yang oleh sejumlah kalangan dijuluki juga sebagai puncak para dewa.
Erupsi tahun ini berdampak pada penyusutan arus pariwisata dan porandanya panen hasil bumi serta infrastruktur kawasan. Wisatawan domestik, apalagi turis asing mencoret paling tidak untuk sementara rencana kunjungan mereka ke kompleks taman nasional Bromo Tengger Semeru yang sangat termasyur itu. Sementara para jurnalis, termasuk pewarta fotonya, malah hanya menjadikan letusan Bromo sebagai liputan non-premier, karena mungkin kalah seksi dengan angkara gunung Merapi yang hingga detik ini lahar dinginnya terus menyita perhatian karena sangat memprihatinkan penduduk yang masih tinggal di sana.
Paling tidak saat atmosfir erupsi Bromo agak terabaikan atensinya, chief editor foto AFP di Hongkong, Christophe Archambault, hadir di Bromo dan mengabarkannya pada dunia. Dalam pengumuman penghargaan tahunan paling bergengsi bagi dunia fotografi jurnalistik di Amsterdam belum lama ini, serial foto erupsi Bromonya berhasil menyentuh nurani para juri World Press Photo yang tahun ini diketuai pewarta foto kawakan dari AS, David Burnett, dan akhirnya meraih pemenang ketiga untuk kategori Alam. Meskipun tak sedahsyat erupsi gunung Merapi di Yogyakarta, namun secara visual fenomena alam dalam erupsi Bromo tetaplah menjadi reportase foto jurnalistik yang hendaknya tak terlewatkan adegannya.
Untuk kelangkaan itulah, maka pencatatan visual melalui perangkat fotografi Sigit Pramono menjadi penting. Apalagi dilakukannya dengan detil disertai dengan pengamatan yang memadai atas kawasan yang memang menjadi fokus prioritas dari pendekatan fotografinya yang mengasaskan landasan pemikirannya pada pelestarian dan kelangsungan mata rantai cagar budaya di taman nasional Bromo Tengger Semeru tersebut. Keberadaan "rekaman-citra" erupsi yang khas itu tak sekadar merubah saujana hamparan komplek Bromo dengan gunung Semeru di latar belakangnya namun sekaligus juga memberi hakekat dan jiwa pada derita serta waktu yang pernah berlalu.
Oscar Motuloh
kurator pameran foto "Equilibrium Bromo"
Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA)
25 Februari - 7 Maret 2011
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 23/02/2011 20:42