Politik Adalah Panglima
Dinihari nanti, liga sepakbola Spanyol akan mencapai puncaknya meskipun Liga Primera masih menyisakan tujuh pertarungan lagi. Pertarungan "el clasico" seri dua tahun ini di Estadio Bernabeu antara sang Galacticos dan Azulgrana sekaligus hampir memastikan pentas supremasi sepakbola negeri matador yang tengah jadi kiblat klub sepakbola dunia sejak maskot Manchester United, Cristiano Ronaldo, hijrah ke Real Madrid yang sekarang ditangani pelatih terbaik sejagad, Jose Mourinho, sosok fenomenal yang kontroversial.
Jika laga akbar tersebut berkesudahan seri, supremasi Barca untuk sementara tertahan dan Real Madrid klub kebanggaan orang-orang Kastilia itu bisa bernafas lega untuk laga selanjutnya. Namun jika anak-anak Pep Guardiola mampu menekuk musuh bebuyutan di kandang keramat mereka, maka kiamat pasti datang untuk pasukan Mourinho yang pasti akan segera meninggalkan galanggang La Liga untuk membawa ambisi pribadinya ke pentas Eropa demi balas dendam atas kesebelasan yang membuat reputasi dirinya tercoreng luar biasa ketika anak-anak Galacticos itu diberondong lima gol tanpa balas di Camp Nou.
El Clasico jilid dua kebetulan berlangsung di hembusan angin perubahan politik di Timur Tengah, dimana perhatian masyarakat global tengah tertuju pada sepak terjang militer AS dengan tameng DK-PBB, yang menggelar “Operation Odyssey Dawn” untuk meruntuhkan hegemoni presiden Qaddafi di Libya yang sepertinya menjadi kartu domino selanjutnya yang terus menumbangkan kartu-kartu berikutnya di kawasan kaya minyak yang pasti menjadi latar belakang keterlibatan kepentingan AS. Operasi yang dikutip dari nama pahlawan Yunani kuno versi Homer dalam epos yang ditulisnya “Iliad”, Odiseus (Oddyssey) adalah juga yang digelontorkan pers olahraga sedunia untuk men-tribute dua bomber yang akan bertarung dinihari nanti: CR7 versus sang Messiah.
Real versus Barca sesungguhnya bukan lagi sekadar laga elite klub terbaik sejagad saat ini. Dia adalah simbol politik yang aromanya selalu mewarnai pertarungan dua klub yang terlahir untuk saling bermusuhan. Real adalah kesebelasan kaum royalis, seperti Chelsea atau kesebelasan England di Britania Raya. Apalagi dengan kostum tradisional putih-putih, mereka menjadi simbol elegansi para bangsawan Kastilia yang menjadi trah superior atas seluruh etnik di kerajaan Spanyol. Bagi Barca yang memakai slogan “bukan sekadar klub” itu selalu mengompori keinginan orang-orang Katalan untuk lepas dari genggaman pemerintah pusat Madrid melalui citra kesebelasan Barcelona.
Karenanya laga nanti akan menjadi pertarungan pembuka dari empat pertemuan mereka dalam 18 hari ke depan. Keberangasan Real Madrid di Liga Champions ditunjukkan dengan menyingkirkan ambisi Tottenham Hotspurs, klub London yang sudah lama tak menyentuh semerbak wangi kancah Eropa, dengan agregat 5-0 di perdelapan final. Sementara Barca menenggelamkan harapan Shakhtar Donesk dari Ukraina yang sedang bagus-bagusnya dengan agregat 7-3. Kegemilangan mereka diganjar dengan saling berhadapan kembali dalam semifinal supremasi klub Eropa di Bernabeu pada 27 Maret dan leg kedua 3 Mei di Nou Camp. Setelah itu mereka kembali bersua dalam final Copa del Rey nya Piala Spanyol pada 20 Mei mendatang.
Jadi menyitir opini santai Johann Cruijff, sang legenda Azulgrana yang memperkenalkan sepakbola tiki-taka menjelang “big-match” nanti, partai ini tak terlalu penting bagi Barca. Yang sungguh krusial bagi klub kebanggaan orang-orang Katalan itu menurut Cruijff adalah justru pada laga kedua Champions di Camp Nou (3 Mei) dan tentu pada final Piala Raja Spanyol pada 20 Mei mendatang. Meraih Piala Raja Spanyol dengan menaklukkan simbolnya tentulah menjadi prestise tersendiri sekaligus suatu ajang branding bagi perjuangan kesebelasan Barcelona sebagai klub sepakbola dan tentu mimpi merdekanya Catalonia sebagai negara republik yang mandiri.
Rasanya Mou ogah memberikan komentar pada jumpa pers sebelum laga. Bisa jadi karena dia berpikir apakah benar Barca akan serius bertarung pada "clash of the titans" jilid dua ini. Taktis Pep membuat Mou ragu. Yang jelas dengan lapis manapun Barca terus akan menggelontorkan pola 4-3-3 nya yang begitu fanatik mereka anut, di kandang lawan sekuat Real sekalipun. Mou sendiri rasanya tetap akan memakai pola favoritnya 4-2-3-1 dengan CR7 sebagai sang Odiseus yang jadi ujung tombak dan belajar betapa permainan agresif ketat yang mereka peragakan di Camp Nou kalah dengan pergerakan yang lebih cepat dari anak-anak Azulgrana yang mematuhi aba-aba Pep untuk bermain lugas dan tak boleh kehilangan bola.
Karena kalah adalah neraka bagi Real, maka demi kejayaan kasta Kastilia dan secara politis demi kerajaan Spanyol yang jaya dan bersatu maka tak ada kata lain bagi pasukan Mou untuk memaksakan kemenangan meski secara teknis tak mungkin akan sebesar ketika mereka ditekuk Azulgrana bulat-bulat ketika itu. Karena ini adalah ajang sepakbola yang seharusnya menghibur maka Barca sepertinya tak akan memaksakan kemenangan, karena seri saja sudah lebih dari cukup mengingat masih ada tiga laga lain menanti di depan mata. Membunuh nanti rasanya lebih mematikan, meskipun jangan mati sekarang. Begitu barangkali yang ada di benak Pep Guardiola demi strategi yang tepat, apalagi di Champions Pep tak boleh terpeleset lagi. Karena bukankah tahun lalu dia merasakannya saat Mou berjaya membawa panji Inter Milan?
Oscar Motuloh
Penikmat sepakbola dan kurator GFJA
Foto: AFP/Sergei Supinsky-Javier Soriano
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 16/04/2011 20:17