Catalonia Rules The Waves

Tak ada keajaiban di stadion Wembley Minggu dinihari saat final Piala Champions musim 2011 yang mempertemukan Barcelona sebagai wakil orang-orang Iberia vs representatif tuan rumah Manchester United. Tak ada revanche. Tak ada extra time. Tak ada cara untuk menjebak Barca yang bermain dengan padu, kreatif dan karenanya patut menjadi raja dunia setelah laga 90 menit yang menjadi neraka bagi tim tuan rumah. Manu menyerah 1-3 dan selisih gol bahkan masih sama persis dengan pencapaian Manu ketika ditekuk 2-0 di kota Roma oleh kesebelasan yang sama. Tak ada wajah kecewa pada pemain Manu karena mereka dikalahkan oleh kesebelasan yang praktis terbaik di dunia dewasa ini.

Barca ditetapkan sebagai tuan rumah karenanya berhak mengenakan seragam kebesaran mereka, sementara Manu lagi-lagi harus mengenakan seragam kedua mereka. Sama persis ketika mereka digulung 2-0 oleh Barca pada final Champions 2009 di Roma. Wajah tegang menghiasi Sir Alex dan pasukannya. Chicharito hanya komat kamit di lapangan tengah dan tak berdoa dengan kebiasaan khasnya. Wasit meniupkan peluitnya dan Manu langsung menekan. Fergie tampaknya memerintahkan anak-anak Manchester itu untuk bermain ketat dengan marking yang disiplin. Kelihatannya rencana itu akan berhasil. Barca tak berkutik di daerahnya. Mereka gagal keluar dari kesulitan, paling tidak hingga menit ke sepuluh. Tak sekalipun Barca melakukan tika-taka karena ditekan ketat.

Namun kesebelasan mana yang mampu meredam keliatan dan kecerdikan Barca. Keketatan Manu akhirnya mulai bocor oleh sergapan Lionel Messi yang bemain luarbiasa malam itu, bersama Pedro, David Villa, Andres Iniesta dan tentu sang jenderal Xavi Hernades. Edwin Van der Saar berjibaku menangkis serangan bertubi yang mulai mondar mandir ke kotak 16 meter Manu. Nemanja Vidic yang menjadi kapten Manu malam itu, bersama tandemnya Rio Ferdinand, benar-benar kelabakan menangani lima tukang gedor yang rata-rata bertubuh mungil itu. Van der Saar, Michael Carrick, Antonio Valencia dan Park Ji-Sung yang disiapkan sebagai destroyer lunglai tak berhasil mensuplai bola ke arah Wayne Rooney yang seperti bermain sendiri. Berlari ke sana ke sini mencari bola untuk dirinya sendiri.

Pedro mencuri gol pada menit ke-27 dengan kecerdasan seorang striker lapis kedua yang tiba-tiba menyosor bola ke gawang Van der Saar. Namun tujuh menit kemudian Wayne Rooney berhasil mengimbanginya dengan gol balasan yang indah. Sayangnya nafas Manu hanya sampai di situ. Gol indah Lionel Messi di babak kedua menghancurkan semuanya. Menggiring bola dan melihat celah di antara kerumunan bek Manu, tiba-tiba sang penyihir melepaskan tembakan mematikan melewati pinggang Vidic yang seolah tak melakukan apapun sehingga mengecoh pengambilan posisi kiper kawakan yang pensiun setelah laga ini. Bersama Giggs, Van der Saar tenggelam dalam kepiawaian anak-anak Barca. Akhirnya gol David Villa mengubur perlawanan Manu yang tak lagi mampu naik menyerang dan menciptakan peluang. Sepakbola hanyalah permainan yang dicintai orang seantero jagad. Permainan indah memang hanya menjadi milik Barca malam itu. Kendali dan penguasaan bola ada di tangan mereka.

Ketika presiden UEFA Michel Platini memeluk Fergie dan mengalungkan medali runner-up (yang kedua dalam 3 tahun), Fergie sama sekali tak memperlihatkan mimik kecewa. Petinggi-petinggi dan tokoh olahraga yang hadir di tribun memberi penghormatan memberi salam dan penghormatan yang tinggi terhadap Fergie. Bagaimanapun, dia adalah pelatih Manchester United terbesar sepanjang sejarah modern klub sepakbola se-Inggris raya. Fergie terlihat sumringah menyalami semua orang-orang itu. Sebagai gentlemen Inggris dia tampak ikhlas merayakan kemenangan sepakbola indah yang barusan menghancurkan pasukannya. Fergie tetaplah sosok yang pantas dikenang meskipun selalu gagal dalam peperangannya melawan Barca.

Di sisi Barca, Pep menerobos peta pelatih muda elite Eropa. Dengan pencapaian ini, maka dirinya tinggal bersaing adu koin dengan seteru abadinya yang arogan, Jose Mourinho. Di kampung halaman Mou sendiri, seorang pengikut dirinya telah hadir dalam diri Andre Villas-Boas, pelatih Porto yang barusan memenangi Piala UEFA dan meraih treble untuk klubnya. Dia tercatat sebagai pelatih termuda untuk posisi itu. Pep memenangi dua Piala Champions dalam tiga tahun masa kepelatihannya. Sebagai anak kesayangan Johan Cruyff yang pernah meraih Piala Champions pada masa mudanya sebagai pemain, Pep dengan pasukannya meneruskan pola 4-3-3 yang menjadi trade mark Barca. Kemenangan Barca adalah kemenangan sepakbola. Kemenangan untuk sportivitas dan seni memainkan games dengan riang, cerdas dan inspiratif bagi siapapun.

Oscar Motuloh
Kurator GFJA, penikmat sepakbola

(Foto: REUTERS/ Albert Gea)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 31/05/2011 09:37