Dari Pegangsaan Sampai Rijswijk
Nuansa peringatan 66 tahun proklamasi kemerdekaan negeri tercinta, Indonesia, tengah kita simak sekarang melalui atmosfir sejarah versi goresan visual Mendur Bersaudara dan sejawat mereka para pewarta foto yang tergabung di Indonesian Press Photo Service alias IPPHOS Coy Ltd.
Saujana realita sejarah perlu kembali dihamparkan sebagai sebentuk selebrasi spesial. Karena pada tanggal 17 Agustus 2011 ini, Proklamasi Republik Indonesia akan genap berusia pada angka yang secara politis menjadi simbol numerik generasi yang menumbangkan rezim "Orde Lama"-nya Bung Karno. Terlebih lagi, peringatan tahun ini berlangsung dalam suasana khusuk bulan Ramadhan. Suasana yang sungguh tepat untuk kembali mengkontemplasikan eksistensi negeri kita setelah mampu menerobos keluar dari belantara versus berkepanjangan antara dua Orde politik yang menguasai negeri ini selama nyaris enam dekade.
Khidmat dari aura bulan Ramadhan saat kita memperingati ulang tahun kemerdekaan RI sekarang, mungkin serupa atmosfirnya ketika tekad membara para pemuda Indonesia pimpinan Bung Karno dan Bung Hatta mencapai klimaksnya saat kumandang Proklamasi Kemerdekaan RI terucapkan dengan lantang di suatu pagi bulan Ramadhan yang cerah, Jumat, 17 Agustus, 66 tahun silam, di pekarangan kediaman Bung Karno, Pegangsaan Timur 56.
Momentum yang tepat pula untuk melakukan kontemplasi serta menyorotkan perhatian pada kondisi sosio-politik negeri kita yang tengah poranda keberadaannya seperti yang kita rasakan belakangan ini. Kondisi yang tak sesuai dengan umur Republik yang harusnya menunjukkan kecerdasan, kematangan, populis, elegan sekaligus bijaksana sebagai pengelola negera. Jauh dari cita-cita perjuangan para perintis negeri yang mengorbankan jiwa dan raga mereka demi memerdekakan kita semua. Persaudaraan, kesetaraan dan merayakan kemerdekaan dalam perbedaan sekarang hanyalah tinggal sepenggal kenangan indah dalam sejarah sebentuk negara bernama Indonesia.
Melalui pameran 66 foto bersejarah karya Mendur Bersaudara dan IPPHOS Coy Ltd. yang bertajuk "Dari Pegangsaan Sampai Rijswijk" kita seolah dingatkan kembali betapa berliku perjalanan perjuangan Indonesia menuju kemerdekaannya dan begitu terjal pula bukit perjuangan untuk mengisi kemerdekaan itu sendiri. Sejumlah foto memperlihatkan betapa foto dokumenter-jurnalistik tak selalu obyektif, kecuali membela kepentingan perjuangan itu sendiri secara subyektif. Untuk peringatan itulah, GFJA menyajikan pameran khusus 66 foto bersejarah ini.
Sebagian besar dari koleksi yang ditampilkan kali ini adalah karya yang jarang atau bahkan lolos dari publikasi baik dalam siaran media dan juga dalam buku pendidikan sejarah kita khususnya generasi muda Indonesia. Periode rangkaian foto bermula dari karya masterpiece Frans Mendur pada hari lahirnya Republik kita sampai penampilan Bung Karno di halaman Istana Merdeka, 17 Agustus 1950. Peringatan kemerdekaan kita yang pertama setelah lima tahun tersingkir dalam pemerintahan di pengasingan, di Yogyakarta yang penuh dengan pergolakan. Pergulatan menuju ke penyerahan kedaulatan RI.
Pameran akan disertai dengan penerbitan buklet berisi artikel dari Rosihan Anwar yang dikutipkan dari buku "Menulis Dalam Air", penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983, perihal bagaimana bersiasat
menerbitkan koran di masa revolusi. Lalu artikel karya mantan Redaktur Pelaksana Kantor Berita Antara Abdul Hakim ("Antara, Sejarah dan Perjuangannya", Abdul Hakim, majalah triwulanan Pers Indonesia No.9, 1977, Jakarta, yang disajikan kembali dalam "Bunga Rampai Sejarah Media Massa", Dja'far Assegaff, Mecon Press, Jakarta, 1978 Jakarta) yang menceritakan bagaimana karakter perjuangan dari kantor berita Indonesia. Juga cuplikan peristiwa seputar proklamasi yang ditulis salah satu pendiri Antara, Adam Malik. Wartawan yang kemudian menjadi Wakil presiden di era Soeharto itu menulis "Riwayat Proklamasi Agustus 1945", Adam Malik, Widjaya Jakarta, 1950.
Kurator pertama GFJA, eseis, mantan manajer program British Council, Yudhi Soerjoatmodjo, menuliskan perihal keberadaan para pendiri dan awak IPPHOS yang menjadi inti dari perjuangan lain dengan senjata bernama kamera. Yudhi bisa dikatakan salah satu figur penting dalam blantika sejarah visual di Indonesia. Kita juga dapat membaca tulisan wartawan senior kantor Berita Antara, Soebagijo I.N. ("Jagat Wartawan Indonesia", Gunung Agung, Jakarta, 1981) yang mengawali karirnya di Biro Yogyakarta menuliskan perihal sosok dan pribadi Soemarto Frans Mendur, fotografer penting bersama abangnya Alex, menjadi soko guru fotografi jurnalistik modern yang menandai karya sejarah mereka sepanjang kehadiran Bung Karno muda hingga temaram di Wisma Yoso. Sekadar mengetahui peristiwa bersejarah sepanjang 1945-1950, maka baik kiranya dikutipkan rangkaian tulisan yang dicuplik dari buku "Lukisan Revolusi Rakyat Indonesia" (Kementerian Penerangan RI, ketua panitia Sudjarwo Tjondronegoro, ilustrasi A.Sonnega, Oktober 1949).
Rangkaian 66 foto periode 1945-1950 yang seluruhnya menjadi sejarah dan sekaligus memperlihatkan karakteristik fotografernya. Bagaimana Mendur bersaudara dengan kameranya menangkap empati perjuangan rakyat Indonesia yang negerinya kembali diduduki Belanda sehingga masih begitu banyak gumpalan darah yang mengalir kental, airmata dan dendam kesumat untuk mengisi kemerdekaan. Bagaimana dari lensa mereka, anak-anak IPPHOS mengangkat derajat para pemimpin kita, dan peran Sultan HB IX yang sentral selama pemerintahan Bung Karno-Bung Hatta seputar era perjuangan visi dari Republik yang baru lahir tersebut.
Karya-karya sejarah visual IPPHOS adalah sejarah itu sendiri yang menyertai perjalanan bangsa ini dengan segala kekurangan para penguasanya. Dia menjadi kronik visual yang menarik untuk menatapnya dalam bingkai masa depan bangsa. Bagaimana kemajemukan bangsa dikawal hingga gerakan pemuda yang oleh militer dimanfaatkan membuka tampuk pemerintahan bagi mereka. Sejarah berulang pada pemerintahan Orde Baru yang ditumbangkan mahasiswa dan gerakan perlawanan yang gigih bergerak untuk memporandakan rezim tangan besi mereka.
66 tahun Republik Indonesia, 66 kartu pos peristiwa bersejarah, 66 karya yang di pamerkan di gedung bersejarah Antara Pasar Baru. Tempat kabar proklamasi Kemerdekaan negeri kita disiarkan untuk pertama kalinya ke seluruh penjuru dunia pada 17 Agustus 1945, menjadi semacam muara pertemuan fotografi jurnalistik dan penyiaran kabar gembira lahirnya suatu janin bernama Indonesia, di persimpangan sejarah yang nilainya semakin dilupakan masyarakatnya.
66 karya foto Mendur Bersaudara dan IPPHOS mengantar kita mengarungi samudra sejarah besar bangsa ini untuk disaksamai dan menjadi inspirasi sekarang agar garuda tak perlu lagi terpekur menatap rantai-rantai putus yang tadinya kokoh menggantung lempeng besi butir-butir visual Pancasila. Dari Rijswijk alias Istana Merdeka sekarang semua beban itu harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk penegakan hukum yang absolut. Kebijakan yang memihak publik dalam arti seluasnya, untuk semua golongan. Supaya hak kemajemukan kita berbangsa terlindungi sepenuhnya. Sama persis ketika Republik ini disepakati dibentuk dari beragam berbedaan, pada suatu Jumat pagi tanggal 17 bulan delapan tahun empatlima.
Bersatu kita teguh, bercerai Emang Gue Pikirin?
Oscar Motuloh
kurator
(Foto: IPPHOS)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 18/08/2011 14:40