Seabad Kebebasan

The basis of a democratic state is
liberty.
-Aristoteles (384-322 SM)
dari "Politics"


Namanya sohor sebagai penggerak pembebasan rakyat China dari kungkungan kekaisaran Qing yang luarbiasa zalim dan korup. Pemimpin gerakan "mission imposible" itu adalah seorang dokter suku Han bernama Sun Wen, namun dunia mengenal namanya sebagai Sun Yat-sen (1866-1925). Dialah pengobar Revolusi Xinhai yang sukses menumbangkan domino feodalisme dinasti Qing hingga ke akar sumsumnya. Revolusi yang menghapuskan 268 tahun tirani imperium Qing, seraya membungkusnya sebagai keranda akhir sejarah kekaisaran Tiongkok.

Masyarakat China mendukung Tiga Prinsip Rakyat yang dikumandangkan Sun Yat-sen menyublim mekar di sanubari mereka. Semboyan yang menggelorakan perlawanan dari hati yang tertindas dan akan terus kekal bergema sepanjang masa. Tiga Prinsip yang dihembuskan Sun adalah Nasionalisme (Minzu), Demokrasi (Minquan) dan Kesejahteraan Rakyat (Minsheng). Prinsip yang dikreasi dari falsafah Abraham Lincoln, presiden AS semasa perang saudara yang mengibarkan semboyan "dari, oleh dan untuk rakyat", dipadu dengan refleksi ajaran bijak filsuf termasyur China, Confusius. Tiga Pedoman Sun melandasi tetesan perlawanan rakyat tanpa henti atas karang tirani yang sebelumnya tak pernah terbayangkan akan pecah dan hancur berkeping tak bersisa. Kezaliman akhirnya tumpas oleh tekad membara, kejujuran nurani dan keagungan jiwa untuk meraih kebebasan.

Sun Yat-sen diakui sebagai Bapak Republik China. Dia adalah Pendiri Republik China setelah kemenangan Revolusi pada 10 Oktober 1911. Baik masyarakat di China daratan maupun Taiwan, setiap tahun merayakan peringatan kemenangan Revolusi pada 10 Oktober 1911 saat kekaisaran Qing bertekuk lutut dan terpaksa menghamparkan permadani merah mereka untuk kawulanya.

Penaklukan bersejarah, menyusul berhasilnya pemberontakan Wuhan, Hubei tahun 1911, yang digerakkan Sun dan kendali lapangannya dipimpin oleh tangan kanan Sun, Huang Xing (1874-1916), ahli militer yang kemudian atas jasa perjuangannya diangkat menjadi Pangab pertama Republik Nasionalis China. Pada saat krusial itu Sun sendiri tengah berada di Denver, AS, melakukan rangkaian kampanye penggalangan dukungan atas gerakan perlawanan mereka di dunia Barat. Sejarah kemudian mencatat Kaisar China terakhir, Puyi yang naik tahta tahun 1908, saat itu masih berumur 3 tahun, yang lemah sebagai boneka di ujung ranting pohon silsilah dinasti Qing yang sesungguhnya dikendalikan penuh oleh Maharani Cixi, "the Last Empress".

Pameran "The Centennial ROC" di ruang pamer utama Galeri Foto Jurnalistik Antara mencoba merefleksikan perjalanan demokrasi Republik China di Taiwan sejak tapak emas sejarah pembebasan mereka hingga progresnya seratus tahun kemudian. Pameran peringatan juga digelar untuk mengapresiasi sekaligus merayakan kebebasan sebagai upaya insan manusia untuk meraih kembali martabat yang tercerabut dan membentangkannya sebagai jalan bagi demokrasi. "The Centennial ROC" juga adalah godam sejarah yang selalu mengingatkan betapa agungnya kebebasan demokrasi bagi kemanusiaan majemuk yang adil dan beradab. Meskipun sejarah pula yang mencatatkan bahwa titian menuju kebebasan selalu penuh pengorbanan yang terkadang berlumur darah dan air mata. Seperti yang juga dialami Indonesia saat memperjuangkan kemerdekaannya. Atau, ketika Mahatma Gandhi memimpin pembebasan India, serta Nelson Mandela yang memerdekakan rakyat Afrika Selatan dari segregasi apartheid.

Kebebasan demokrasi bukanlah takdir yang jatuh dari langit, dia harus diraih dengan pengorbanan apapun, atas nama kemuliaan insan manusia.

Oscar Motuloh
Tommy Lee

kurator

Pewarta: Oscar Motuloh & Tommy Lee | Editor:

Disiarkan: 21/09/2011 17:31