Indonesia: Negeri yang Tak Terduga
"...sabuk zamrud di khatulistiwa"
- Multatuli (1820-1887)
Sebuah metafora bisa memikat, juga ketika ia meleset. Gambaran Multatuli tentang kepulauan ini (ia belum menyebutnya "Indonesia") berulang-ulang dikutip para pemimpin pergerakan nasional di awal abad ke-20. Tapi kiasan adalah kiasan, bukan batasan.
"Zamrud" atau "smaragd" (kalimat Multatuli, "de gordel van smaragd") berasal dari bahasa Yunani, smaragdos: "batu mulia yang berwarna hijau". Indahnya mempesona. Ia memang bisa mengingatkan kita akan kesegaran hutan tropis yang tak habis-habis. Tapi zamrud yang keras dan ditatah itu, ketika tampak sebagai "sabuk" (gordel), adalah sesuatu yang telah jadi...
Sementara itu, 17.000 pulau yang "sambung menyambung menjadi satu" ("itulah Indonesia", kata sebuah lagu nasional) adalah sebuah ruang yang tak pernah selesai. Ia tak berhenti diproduksi. Proses persambungan itu terjadi lebih dahulu sebelum yang 17.000 itu "menjadi satu", dan ia akan berlangsung terus selepas itu.
Sebab keadaan "menjadi satu" selalu menuntut untuk dilihat kembali dan dikerjakan ulang. Sebab "satu" adalah angka yang penuh teka-teki. Kita tak selamanya pasti benarkah ada sebuah "satu" yang tanpa celah, tanpa kurang, dan tanpa turah. Terutama jika ia merupakan transformasi dari "tujuh belas ribu".
Yang kita tahu: sebuah ruang telah, tengah, dan akan terjadi.
***
Manusia memproduksikan ruang, dan sebuah ruang sosial tumbuh.
Ada saat ketika ruang hadir sebagai sesuatu yang dikonsepkan. Ini adalah ruang sebagaimana yang dihadapi pembangun rumah dan ladang, arsitek, pakar tata kota, perancang administrasi regional, teknokrat perekonomian nasional, juga ahli rekayasa sosial.
Saya akan menyebutnya sebagai "ruang L", singkatan dari "lurus", "linear", "lekas".
"Ruang L" ini amat berperan di tiap masyarakat. Dialah yang membentuk tata modern, dan sebaliknya juga dibentuk oleh tatanan tersebut. Ia mudah diterjemahkan dalam desain, huruf, dan angka. Ia tampak terang sebagai hitam di atas putih. Ia mudah dikendalikan dan dipakai buat mengendalikan.
Tapi ia bukan segala-galanya.
Ada yang lain ketika ruang sosial diproduksi dalam sejarah: ruang yang secara langsung dihuni manusia dengan tubuhnya —dari mana lahir adat, legenda, dan pelbagai laku simbolik lain. Ialah yang disebut dalam kenangan, harapan, dan kecemasan, dan sebab itu tak mudah disalin dalam aksara dan cetakbiru. Ruang "representasional" ini saya sebut "R", singkatan dari "rekalsitran", "rumit", "redup".
Sejarah 17.000 pulau ini sering merupakan benturan, atau tarik-menarik antara ruang "L" dan ruang "R" dan manusia yang berinteraksi dengan keduanya, serentak atau berganti-ganti.
Ruang "L" mendorong kita menarik garis yang lempang dan tunggal. Di sini pembakuan dan penyeragaman berperan penting. Tapi di pihak sana, ruang "R" selalu mrucut dari jangkauan lengkap "L". Ia tak selamanya jelas, ia merepotkan, ia beda yang tak kunjung reda. Penyatuan keduanya membutuhkan manajemen pengelolaan bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Tentunya dengan penanganan yang hati-hati.
Di ruang "L", manusia mengelola perbedaan sebagaimana ia mengelola Taman Mini: deretan 17.000 pulau, 450 bahasa, dan entah berapa logat, hukum adat, dan agama itu direpresentasikan sebagai deret satuan yang tetap, ibarat anjungan yang tampak pada latar yang serupa. Tapi "Taman Mini" ini, dengan niat baik "multikultural" sekalipun, mengabaikan ruang "R". Para penyelia ruang "L" condong membakukan (yang berarti juga membekukan) selisih pelbagai arus yang saling tak cocok, malah bentrok, yang remang-remang dan berubah sewaktu-waktu dan umumnya luput dari klasifikasi.
Mereka yang melihat dunia sebagai ruang "L" —para pejabat departemen, perwira teritorial, penguasa real estate— tak akan pernah sepenuhnya berhasil memproduksikan ruang sebagaimana yang mereka niatkan. Sebab ruang "R" adalah tempat yang hidup; ia bicara dengan lambang dan isyaratnya, dengan gema ingatan dan traumanya, dengan endapan sejarah atau bawah-sadar sosialnya. Dalam diagram dan tulisan, di ruang "L" orang hanya bisa menangkap beberapa aspek ruang "R" saja. Selebihnya tak terjabarkan.
Adapun bermacam-macam mereka yang hidup dengan kesadaran dan ketaksadaran dalam ruang "R" tak selamanya menampik bila dunia kehidupan mereka disalin ke dalam ruang "L". Terkadang mereka malah menikmatinya. Tapi lebih sering mereka ingkar. Pada akhirnya, memberontak atau tidak, para "pengguna" ruang ini berada dalam posisi yang berseberangan dengan para "produser" ruang di balik desain besar.
Itu sebabnya 17.000 pulau yang dibayangkan sebagai ruang sebentuk "komunitas" atau "bangsa" itu bukanlah satu himpunan yang telah dinubuatkan.
Begitu juga "negara-bangsa" adalah sebuah simbiosis yang tak selamanya stabil antara ruang "L" dan ruang "R", antara bangunan yang dikonstruksikan dan wilayah yang telah terbentang bersama sejarah. Nasionalisme-lah yang berupaya menyediakan wacana bagi simbiosis itu. Nasionalisme-lah yang memberi tampilan rasionalitas pada penyatuan tersebut.
Renungan Bennedict Anderson dalam Imagined Communities menunjukkan ideologi ini lahir dengan bayang-bayang gairah keagamaan yang digantikannya, termasuk sisinya yang tak rasional: nasionalisme-lah yang secara sekuler mengubah, misalnya "Indonesia", dari sesuatu yang sebetulnya bisa berakhir jadi sesuatu yang seakan-akan kekal, sesuatu yang belum tentu jadi sebuah makna, sesuatu yang kebetulan jadi takdir.
Tapi justru sebab itu betapa tak pastinya wacana nasionalisme bisa berhasil. Ruang yang dibentuk itu, seperti saya katakan di atas, bagaimana juga sebuah ruang politik: di sana kekuasaan, bentrokan, dan persaingan berlangsung. Sebuah "komunitas yang dibayangkan" tak pernah dibayangkan secara universal. Ia selamanya hasil dari satu pihak yang secara dominan membayangkannya—pihak pemegang hegemoni tapi fana...
Yang mengagumkan pada nasionalisme ialah bahwa ia, dalam ketakpastiannya, tampil menguak takdir —seraya ia sendiri seakan-akan suara takdir.
***
Sebuah untaian 17.000 pulau yang tampak bagaikan "sabuk zamrud di khatulistiwa" adalah sebuah tamasya yang hanya bisa disaksikan dari angkasa. Artinya: dari ruang yang tak tersentuh waktu.
Di bumi, ruang dan waktu saling membentuk. "Garis Wallace", celah yang memisahkan Bali dan Lombok, Kalimantan dan Sulawesi —hingga berbeda benar fauna di kedua belahan 17.000 pulau itu— adalah contohnya: dulu Benua Asia tak berujung di pantai Cina dan semenanjung Malaysia, melainkan mencakup sampai Kalimantan dan Bali. Tarikh Pleistocene, yang berlangsung dua juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu, membuat muka bumi berubah. Masa beku berganti-ganti dengan masa hangat. Unggunan es mencair dan terbentuk, laut dan pulau pun terjadi, benua bertaut atau berpisah. Geografi adalah sejarah.
Tapi ada masanya ketika proses saling bentuk antara ruang dan waktu itu berubah. Dominasi ruang "L" atas ruang "R" —yang menandai modernitas— menunjukkan perubahan itu.
Waktu akhirnya memang hanya direkam dalam alat pengukur dan jam, buat fungsi yang terpisah-pisah. Waktu sebagai sesuatu yang dihayati dalam ruang "R", waktu yang dekat dengan tubuh dan simbol kehidupan bersama —pakuwon Jawa, perhitungan hari baik, pesta panen, ritus potong gigi atau sunat— telah nyaris kehilangan makna. Ia jadi waktu dalam ruang "L": diterjemahkan secara visual dalam angka dan huruf, dapat dibagi-bagi, dikerat dan diciutkan, dan bahkan dapat dihapus seakan-akan tak ada. Atau jadi komoditas: dihargai karena bisa dipertukarkan dengan uang.
Tentu saja ketika negara-bangsa bekerja, ia butuh keajekan dan kepastian, dan waktu pun harus diubah jadi unit matematis: ke-17.000 pulau ini pun dibagi dalam "Waktu Indonesia Bagian Barat" dan "Bagian Timur".
Namun, waktu yang sesungguhnya selalu luput dari pembagian. Ia seperti sebuah arus misterius yang mendesakkan perubahan-perubahan. Gugusan kepulauan itu, yang dari langit nampak berkilau bak untaian permata, tak pernah tetap sama. Bagi saya, ia adalah percikan yang mengisyaratkan bahwa selalu ada sebuah ruang yang memikat dan tidak sepenuhnya berhasil ditundukkan. Sebuah kejutan.
Goenawan Mohamad
Pewarta: Goenawan Mohamad | Editor:
Disiarkan: 19/10/2011 12:58