Misi Mustahil Tim Oranye
Tamat sudah kasak-kusuk pers yang menghubungkan big match Jerman-Belanda sebagai "perang" setelah laga yang melelahkan di Stadion Metalist, Kharkiv, Ukraina. Der panzer dengan dingin mengeksekusi kemenangan penting 2-1 atas Belanda. Mayoritas pers memang selalu menyorot tajam grup neraka yang telah memasuki laga penentuan, meski hingga pertarungan itu berakhir tak satupun tim yang memastikan diri bakal menetap di neraka atau melaju ke babak kedua. Walaupun Belanda benar-benar berada di ujung tanduk dengan dua kekalahan beruntun, namun baru pada tarung final grup B antar empat raksasa itu (Belanda vs Portugal, dan Jerman vs Denmark) 18 Juni malam, barulah tiket siapa yang keluar neraka dapat dipastikan dengan mutlak. Sejauh ini baru Jerman dengan enam poin yang telah menjejakkan salah satu kakinya ke babak kedua, dengan catatan mereka mampu meraih minimal satu poin dari Denmark pekan depan.
Di stadion megah dengan kapasitas 38.863 orang, kita dapat menyimak bagaimana pelatih ortodoks Belanda, Bert Van Marwijk, dengan malu-malu kucing mengajak anak-anak Belanda bermain seperti hakekatnya laga tim kincir angin biasa menghembuskan badai serangannya. Sayangnya, keputusan pelatih langsing berambut putih itu agak kasip datangnya. Mestinya taktik ini digunakannya sejak menghadapi Denmark, dimana Belanda akhirnya merasakan kekalahan beruntun dari integritas tim yang ternyata memang menganggap enteng anak-anak Viking itu. Sejak Piala Dunia di Afsel, penyisihan Piala Eropa yang ketat, Marwijk tak pernah memainkan lagi khittah sepakbola Belanda, maka mengganti gelombang tentu tak semudah seperti membalik telapak tangan. Partai Jerman vs Belanda di Piala Eropa 2012 tak lagi dibumbui beragam drama seperti yang sudah-sudah jika kedua musuh bebuyutan ini saling bertemu. Joachim Loew dalam konferensi pers sebelum laga mengingatkan bahwa pertarungan ini tak lagi berakar pada teknik "markom" seperti yang dilakukan pelatih kawakan Rinus Michels atas lawannya.
Sejak tim Oranye menguasai sepakbola klub Eropa pada awal 1970-an, melalui racikan Michels dengan dirigen lapangan yang jenius Johann Cruijff, Ajax merajalela di Eropa, mereka menjadi fenomena di tengah "renaissance" kebudayaan, senirupa pop dan rock’n’roll yang kreatif dimana sepakbola menjadi bagiannya, dan anak-anak Belanda menjadikannya gaya hidup. Perseteruan subyektif Michels yang pernah menjadi striker pada tahun 1940-an terhadap Helmut Schon yang melatih Franz Beckenbauer dan anak-anak Jerman Barat pada Piala Dunia 1974, tak terelakkan dari sentimentil masa lalu, ketika Jerman menduduki Belanda, negeri secuil dibandingkan Jerman yang raksasa. Schon tak terlalu menanggapi provokasi Michels, tapi media menyambarnya dengan sangat sukacita. Sejak itu, Johann Cruijff cs adalah musuh bebuyutan Jerman. Padahal sebelumnya Belanda bukanlah kesebelasan yang ditakuti. Namun berkat Michels, Belanda yang modis menjadi bagian dari cap generasi bunga yang terhormat.
Begitu wasit Jonas Eriksson (Swedia) menghembuskan peluit, Belanda telah mengambil alih serangan pembukaan. Jerman seperti belum benar-benar melek matanya. Serangan Belanda berlangsung silih berganti, menggedor gawang Nueur yang konsisten penjagaannya. Sampai pada menit ke-24, saat Belanda keasyikan menyerang (4-3-3), Sami Khedira mengirim umpan kepada gelandang inspiratif Bastian Schwensteiger yang bergerak di jantung pertahanan Belanda, dan seketika mengirimkan umpan langsung yang beruntung dapat dikuasai striker Mario Gomez yang lolos dari jebakan off-side, mengelabui bek tangguh Belanda, Joris Mathijsen yang baru kembali dari meja perawatan, lalu dengan cool melepaskan tembakan terarah melampaui kiper kawakan Maarten Stekelenburg. Saat Belanda agresif berupaya mengejar ketertingglan, replay gol malah terjadi. Juga dilakukan oleh Schweiny, yang kali ini mengirimkan umpan ke Mario Gomez di kanan pertahanan Jerman, dan dengan sedikit mengecoh bek muda usia Jetro Wellem, Gomez melakukan tendangan melambung ke arah tiang jauh, memperdaya Stekelenburg. Skor 2-0 pada menit ke-37 membuat Belanda terlihat sebagai raksasa tak berdaya.
Saat wasit Swedia itu meniupkan peluit di penghujung laga, beberapa pemain bintang Belanda seperti Stekelenburg, Mathijsen, Van Der Vaart, Van Persie dan Sneijder menatap langit yang dihembus udara bersuhu 29 derajat C. Mereka saling bertatapan tak percaya, meski masih ada laga tersisa nanti dan Belanda masih tetap punya peluang yang sangat tipis untuk lolos, yakni dengan mengalahkan Portugal di atas dua gol sambil berharap keajaiban pada laga lainnya. Mengingat misi mustahil itu, Sneijder tak ingin berlama-lama di lapangan yang malam itu menjadi milik anak-anak Jerman. Dia berlari kecil ke ruang ganti. Kamera sempat mengambil bagaimana Senijder yang menjadi begitu sentral di Afsel, mengusap matanya yang berlinang airmata. Dia memang kesal dengan penampilan tak maksimal dari rekan-rekannya pada laga pertama melawan Denmark. Pernyataan Sneijder yang diungkapkannya pada pers membuat masyarakat segera menangkap ada yang tak beres di ruang ganti Belanda. Meskipun pasti tak sepanas "mutiny on the bounty" pimpinan Patrice Evra yang mewakili pemain Perancis menentang pelatih ayam jantan, Raymond Domenech yang arogan dan diktator.
Tulisan "Oh, Oh, Oranje" yang menghiasi halaman depan koran De Telegraaf usai kekalahan 1-2 oleh Jerman pas betul mewakili kesedihan Belanda. Laga terakhir menghadapi Portugal jelas merupakan "mission impossible" bagi van Marwijk yang posisinya kini berada di ujung tanduk.
oscar motuloh
penikmat sepakbola
Foto: Pemain Belanda Wesley Sneijder melompat dekat pelatihnya, Bert van Marwijk, dalam laga Grup B Piala Eropa 2012 melawan Jerman di Stadion Metalist, Kharkiv (13/6). (Reuters/Alessandro Bianchi)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 15/06/2012 13:57