Gugurnya Maha Dewa Gembok Yunani
Jerman akhirnya mengungkap rahasia cara menghentikan sepakbola negatif ala Yunani yang masih juga dianut tim Para Dewa itu pada Piala Eropa kali ini. Melalui permainan agresif yang sabar tapi mengalir tanpa henti variasinya, maka padamlah kiprah sepakbola grendel yang pernah sukses dijalankan Yunani pada Piala Eropa 2004.
Joachim Loew mengejutkan Yunani dengan menurunkan starting eleven tanpa ujung tombak Mario Gomez, gelandang pegas Thomas Mueller di kanan dan Lukas Podolski di kiri yang biasanya menopang pergerakan trio maut Mesut Ozil, Sami Khedira dan Bastian Schweinsteiger. Dengan pergerakan dinamis trio baru yang dipasang Loew, Miroslav Klose, dibantu dua darah muda Andre Schurrle di kanan dan Marco Reus di kiri, maka gerakan dengan dan tanpa bola saat Jerman menyerang menjadi kekuatan mematikan karena daya kejutnya. Keinginan Loew untuk membuka ruang tembak dari lini kedua berhasil dilakukan dengan kehadiran trio baru itu. Komposisi itu jelas membingungkan Fernando Santos yang mungkin menebak bahwa Loew akan menurunkan starting dari the winning team yang justru tak dilakukannya.
Gol pertama bek sekaligus kapten ”Der Panzer” Philip Lahm adalah akibat taktik jitu tersebut. Begitu ruang terbuka di antara delapan atau sembilan pemain Yunani yang menumpuk di daerahnya sendiri, sontak Lahm menyambut umpan playmaker Mesut Ozil dengan satu tembakan deras ke pojok tiang jauh yang tak mampu dihalau kiper Michail Safikis enam menit sebelum jeda.
Pertahanan Yunani akhirnya berubah rapuh, apalagi tanpa kehadiran Giorgos Karagounis, bek tangguh yang menjadi inspirasi tim tapi hanya duduk di bench karena terkena akumulasi kartu. Karagounis sempat tertangkap kamera tengah menuntun rekan-rekannya saat mereka bersiap masuk arena sebelum kick-off dilakukan. Absennya Karagounis adalah derita Yunani, apalagi bagi Santos yang seperti tak punya pilihan, karena sejauh ini Karagounis memang belum tergantikan. Pergerakan “maha gembok“ di kawasan belakang Yunani hanya bisa pegas oleh kehadiran Karagounis yang membunuh Rusia dengan gol tunggal yang dia ciptakan. Fungsinya coba diisi gelandang Grigoris Makos, namun gagal secara konsep bermain.
Anak-anak Zeus itu telah dengan perkasa berusaha mengimbangi tim Jerman yang terasa superior sejak kick-off berlangsung di Stadion Arena, Gdanks, Polandia, Sabtu dinihari. Di pesisir Laut Baltik itu, Yunani tak mampu mengalirkan kisah 300 Spartan dalam diri mereka. Meskipun mantan striker Manchester City, Giorgos Samaras, berhasil mencuri gol pada menit 55, namun setelah itu pemain Jerman justru tampil beringas. Berturut-turut mereka mencetak gol melalui gelandang Sami Khedira (menit 61), lalu sundulan Miroslav Klose (68) dan ditutup oleh gelandang Marco Reus (74).
Yunani beroleh gol hiburan melalui hadiah penalti menjelang laga usai karena hand ball Boateng di daerah terlarang timnya. Kesempatan tersebut dimanafaatkan dengan baik oleh Vasilis Torosidis Salpingidis. Tentu tanpa selebritas, karena Salpingidis sadar beberapa detik setelah bola diletakkan di titik tengah, wasit Damir Skominir bakal meniupkan peluit panjangnya.
Di tribun kehormatan, kanselir Jerman Angela Merkel bersama Presiden Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) Wolfgang Niersbach bersorak-sorai bersama fans Jerman menyambut kemenangan ”Der Panzer”. Sementara di sebelah mereka, Presiden UEFA Michel Platini yang tampak lebih tua dari usianya hanya dapat memandang mereka sambil senyum-senyum simpul.
Meskipun kemenangan 4-2 menunjukkan adanya perlawanan dari tim Para Dewa, tampak bahwa tim Yunani kali ini sejatinya belum layak berada dalam elite delapan besar Eropa. Mereka lolos ke perempatfinal semata karena adanya regulasi baru EUFA yang menguntungkan mereka.
Habis sudah kisah perjalanan Yunani yang tentu tak sedahsyat epos Homer di Iliad. Era Rehhagel sudah berlalu. Mereka harus angkat koper untuk kembali bergabung ke dunia realitas bersama warga Yunani yang sekarang tengah sangat prihatin secara ekonomi di lingkungan Uni Eropa.
Sementara Jerman yang melaju ke semifinal dengan gaya, dijadwalkan akan menghadapi pemenang antara Italia-Inggris di semifinal yang bakal dimainkan di Stadion Nasional Warsawa pekan depan. Minggu dinihari nanti, laga hidup mati antara juara bertahan Spanyol akan menghadapi musuh bebuyutan mereka, Prancis, di Donbass Donetsk, Ukraina. Inilah duel seimbang yang sangat dinanti para "sokkagoers" (plesetan dari soccergoers) dunia.
Meski tak secemerlang Jerman yang meraih empat kemenangan beruntun, Spanyol sebagai juara grup hanya meraih tujuh poin yang mereka raih dengan susah payah (kecuali melawan Rep Iralndia yang mereka taklukan 4-0). Perancis lebih apes lagi, mereka dilibas para Viking Swedia dengan 2 gol tanpa balas pada laga penutup grup D, sehingga terpaksa menempati posisi runner-up di bawah Inggris yang memimpin grup.
Hingga saat ini, wakil grup A telah musnah. Dua semifinalis yang mewakili grup neraka, Jerman dan Portugal, diperkirakan para pengamat akan berjaya hingga babak final nanti. Dinihari nanti, Spanyol yang belum menemukan form terbaiknya harus menemui tim Ayam Jantan yang sedang masygul. Laga sepenting ini, tentulah membangkitkan gairah bertanding. Dua pola akan beradu cerdas dalam permainan di lapangan. La Furia Roja pasti turun dengan pola 4-3-3 yang menyerang seperti biasanya. Sementara Perancis akan mengasah taji Karim Benzema lebih tajam lagi, karena sang matador adalah tim yang sangat sulit untuk ditaklukkan secara reguler. Laurent Blanc bakal sibuk memoles para ayam jantannya untuk terjun dalam laga maut yang pasti berdarah-darah.
Menjelang laga kedua kampiun Piala Dunia itu, baiknya kita tak perlu melihat statistik sebagai acuan. Karena sejauh ini dalam laga kompetitif catatannya menguntungkan Perancis, sementara Spanyol sang tetangga, tentu tak perduli dengan rekor di atas kertas yang dicatat media. Mereka perlu mempertahankan trofi dan jika mereka yang lolos ke semifinal, maka seluruh statistik yang menguntungkan Prancis tentu akan runtuh dengan sendirinya.
Sejauh ini, kedua tim tengah berjalan ke puncak bukit dimana trofi dipajang. Kedua tim masih jauh dari penampilan terbaik mereka. Prancis malah mengalami antiklimaks saat dipermalukan Ibra dan Larsson dengan tembakan-tembakan yang begitu cantik dan penuh daya. Sementara Spanyol masih tertatih menuju ke performa mereka seperti saat menjuarai Piala Dunia di Afsel dua tahun silam. Vicente del Bosque tentu terpukul tanpa kehadiran Carles Puyol dan tentunya David Villa yang cedera panjang. Tapi Spanyol adalah gudangnya talenta sepakbola. Jadi persoalannya bukan lagi pada SDM namun lebih pada bagaimana taktik diracik untuk memenangkan strategi.
Kunci yang menggerakkan 4-3-3 terletak pada Sergio Busquets. Sayangnya, perseteruan Real Madrid-Barcelona belakangan memanas, sehingga dua bek tengah Sergio Ramos dan Gerard Pique tak akur secara pribadi. Busquets dan Xabi Alonso tampaknya juga demikian. Padahal aliran bola dari belakang ke lapangan tengah dan depan mengalir dari mereka berempat. Busquets dan Alonso belum pada puncaknya, namun tanpa performa terbaik, sulit untuk menekuk Prancis seperti yang dilakukan dengan elegan oleh Swedia yang menutup kepergian mereka dari grup D dengan kepala tegak. Belum lagi lapangan tengah Spanyol yang menjadi roh anak-anak Iberia itu hingga saat ini belum padu benar, meskipun Andres Iniesta dan Xavi Hernandes sudah mencoba bahu membahu dengan David Silva yang sering kehilangan bola. Satu-satunya pemain yang telah berada pada track-nya adalah penjaga gawang Iker Casillas.
Di pihak le coque sportif, Blanc harus mulai mengipasi moral tim dari bawah lagi sejak kekalahan dari Swedia yang menyakitkan. Bayangkan jika tak dibantu Inggris menjinakkan tuan rumah Ukraina yang bermain kesetanan itu dengan gol tunggal Wayne Rooney dan juga keputusan kontroversial wasit Viktor Kassai yang membatalkan gol Ukraina, maka mestinya Prancis menonton Piala Eropa dari TV di rumah masing-masing.
Blanc dan del Bosque sama-sama punya kepentingan membangkitkan performa tim yang diasuhnya. Karenanya, faktor non-teknis dapat menjadi penentu bagi kekalahan dua tim yang berlaga. Pengalaman del Bosque tentu akan menguntungkan, namun sepakbola tetaplah bukan matematika. Setiap turnamen besar tentu tak dapat begitu saja dibenamkan dengan angka-angka statistik. Kreativitas yang atraktif adalah outlet yang paling tepat bagi Spanyol untuk memecah kebuntuan, dan sebagai sang matador, tentu lebih mudah menaklukkan "Les Blues" berlogo ayam ketimbang "Pangeran Biru" berlogo banteng.
oscar motuloh
Foto: Pemain Jerman Philipp Lahm (kedua dari kiri) diberi selamat oleh rekan-rekan setimnya usai mencetak gol ke gawang Yunani dalam laga perempatfinal Piala Eropa 2012 di PGE Arena, Gdansk (22/6). (Reuters/Bartosz Jankowski)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 23/06/2012 14:05