Apa Maumu, Roman?

Apa yang dirasakan Roberto Di Matteo seusai Chelsea ditekuk Juventus 0-3 di ajang Liga Champions, Rabu dinihari (21/11) lalu? Bisa jadi dia menyadari laga itu akan menjadi momen terakhirnya bersama The Blues. Lima laga tanpa kemenangan bukan sekedar angka statistik, tapi juga firasat buruk yang bakal mengancam karir pelatih Chelsea, siapa pun dia.

Kemungkinan terburuk itu akhirnya terbukti beberapa jam kemudian. Manajemen Chelsea memutuskan untuk tidak lagi memakai jasa Di Matteo membesut para pemain. Dengan kata lain, dia dipecat karena dianggap tidak perform. Sebuah alasan yang masuk akal tapi sarat dengan ironi, karena enam bulan sebelumnya dia sukses mengantar trofi Liga Champions kepada sang pemilik, Roman Abramovich.

Performa The Blues memang sedang memble akhir-akhir ini. Di ajang Liga Primer Inggris mereka terpuruk ke posisi empat setelah sempat bertengger di puncak dalam sembilan pekan pertama. Di Liga Champions, meski masih punya harapan lolos ke babak 16 besar, peluang mereka semakin tipis. Chelsea harus bisa memenangkan laga terakhir melawan Nordsjelland dan berharap keajaiban datang dari kaki-kaki pemain Shakhtar Donetsk yang menghadapi Juventus.

Jika gelaran Liga Primer masih panjang dan harapan masih tersisa di Liga Champions, kenapa Roman enggan memberi kesempatan kedua kepada Di Matteo? Sulit menjawab pertanyaan ini dengan logika berpikir yang sederhana. Sebuah media Inggris bahkan menyebut pemecatan Di Matteo sebagai hal yang "brutal", karena hanya didasari reaksi emosional seorang Roman.

Pemecatan itu seperti menegaskan dugaan banyak kalangan bahwa Roman memang tak pernah menginginkan Di Matteo. Pengangkatannya sebagai pelatih permanen hanya sekedar ungkapan terima kasih karena telah mengantar Chelsea menjadi kampiun Eropa. Sejak itu, Di Matteo bagaikan duduk di atas tumpukan jerami kering. Sepercik api kecil dari kemurkaan Roman akan menghabisi karirnya di Stamford Bridge.

Kekalahan dari Manchester United dalam sebuah laga kontroversial mungkin masih bisa dimaklumi, tapi kalah dari West Brom setelah sebelumnya hanya berbagi poin dengan Swansea dan Liverpool bukan sesuatu yang normal di mata Roman. Kekalahan dari tim medioker jelas merupakan pukulan telak bagi Chelsea yang tiga pekan sebelumnya masih bertengger di urutan teratas klasemen.

Puncak kemarahan sang taipan sepertinya muncul di Turin. Menghadapi pola 3-5-2 yang dimainkan Juventus, Di Matteo seperti menentang pakem Roman yang selalu menginginkan Fernando Torres berada di starting line-up, tak peduli performa buruk sang anak emas. Memasang Eden Hazard yang posisinya nyaris seperti "false-nine", Di Matteo tampak seperti berjudi. Dan Roman jelas tak menyukai hasil akhirnya. Chelsea kalah telak dalam laga penentuan yang harus mereka menangkan.

Banyak orang bertanya, apa yang kurang pada diri Di Matteo? Sebagai pemain, dia pernah membela klub berlambang singa itu selama enam tahun (1996-2002) sehingga loyalitasnya sebagai "boy in blue" tak perlu diragukan lagi. Sebagai pelatih, catatannya begitu impresif jika diukur dengan standar apapun. Menang 24 kali dari 42 laga dengan prosentase kekalahan hanya 21,4%. Jangan lupa, selain trofi Liga Champions, Di Matteo juga meraih Piala FA dalam waktu kurang dari setahun. Sebuah pencapaian yang fantastis jika dibandingkan dengan Arsene Wenger yang tak juga memberikan trofi apapun bagi Arsenal dalam tujuh tahun terakhir.

Kejutan Abramovich ternyata tak berhenti di situ. Penunjukkan Rafael Benitez sebagai pelatih Chelsea hingga akhir musim dipandang pengamat sebagai "against all odds", menentang anggapan banyak orang, terlebih di mata pendukung Chelsea. Rafa dinilai bukan figur yang pas untuk membesut si Biru lantaran rivalitasnya dengan Jose Mourinho dulu ketika menukangi Chelsea.

Pendukung fanatik Chelsea tentu masih ingat saat Rafa mengatakan sesuatu yang mereka nilai meremehkan klub kesayangan mereka. "Chelsea adalah klub besar dengan pemain-pemain fantastis, setiap manager tentu ingin melatih sebuah tim besar. Tapi saya tak akan pernah menerima pekerjaan itu untuk menghormati Liverpool. Bagi saya cuma ada satu klub di Inggris dan itu adalah Liverpool," kata Rafa pada tahun 2007.

Dengar saja suara Chelsea Supporters Groups (CSG) saat nama mantan pelatih Liverpool itu muncul. Benitez takkan diterima suporter Chelsea, kata ketua CSG Trizia Fiorellina seperti dikutip BBC. Menurut dia, Benitez bukanlah manajer yang baik, karena lama menganggur dan tak satu pun klub yang mau merekrutnya usai dipecat Inter Milan.

Apakah penunjukkan Rafa merupakan strategi jangka pendek Roman karena sebenarnya dia masih menginginkan Pep Guardiola? Begitu besarkah rasa sayang Roman pada Torres sehingga dia memerlukan "tangan dingin" Rafa yang dulu membesarkan si El Nino?

Memecat pelatih sudah menjadi tradisi di Chelsea, semua penggemar sepakbola tahu itu. Tapi mendepak orang yang membantu mereka merebut Liga Champions pertama dalam sejarah klub lalu menunjuk mantan rival mereka sebagai pengganti adalah hal yang sulit dicerna akal sehat.

Jadi apa maumu, Roman?

Imung Murtiyoso
penikmat sepakbola

Foto: Roberto Di Matteo saat menjadi pelatih Chelsea (Reuters/Eddie Keogh)

Pewarta: Imung Murtiyoso | Editor:

Disiarkan: 25/11/2012 21:47