Pada Penghujung Jalan Madiba

Simbol demokrasi modern itu sejatinya tengah meregang nyawa. Meskipun tubuh jangkungnya masih terbujur di RS Jantung Mediclinic Pretoria, namun rakyat Afsel tampaknya mulai bisa tersenyum, karena pada hari ulang tahunnya ke-95 yang jatuh pada Kamis (18/7), Nelson Mandela dikabarkan telah mampu menonton acara televisi dari ranjang penderitaannya.

Tujuh pekan belakangan ini, sejak Mandela dilarikan ke rumah sakit karena infeksi paru-paru akut, rakyat Afrika Selatan dan warga dunia pendamba demokrasi menderukan doa bagi kesembuhan negarawan sejati yang dalam klannya akrab disebut sebagai Madiba. Presiden AS Barack Obama dalam lawatan ke Afrika menyempatkan bertemu dengan keluarga besar Madiba dan berbicara dengan Grace Machel, istri Mandela. Meski tak memaksakan diri berjumpa Madiba, namun Obama meninjau ke penjara di pulau Robben, lokasi penjerujian Madiba selama 27 tahun. Penjara lembab rezim Apartheid yang diduga menjadi pangkal penyakit paru-paru Madiba.

Presiden Afsel Jacob Zuma yang beberapa kali membesuk peraih Nobel Perdamaian 1993 tersebut – bahkan memutuskan membatalkan kunjungan resmi Ke Mozambik – terpaksa mengingatkan warganya untuk tenang agar dapat menerima kenyataan terburuk di antara seliweran berita tentang kondisi kesehatan Madiba yang simpang siur. Jika Sang Legenda harus berpulang ke rumah Sang Khalik, itu karena kondisi kritis kesehatannya yang amat memprihatinkan, kata Zuma.

Di dunia internasional, sejumlah negara bahkan harus mengumumkan permintaan maaf seraya merevisi pernyataan terlalu dini yang keburu menyampaikan pernyataan belasungkawa begitu mengetahui Madiba dirawat intensif mengingat usianya yang memang telah lanjut. Sampai pekan ketiga, Madiba tak sadarkan diri dan tak memberi respon klinis apapun. Pihak keluarga bahkan sempat bertikai perihal pemakaman. Sejak itu dunia berdoa dan berharap keajaiban masih ada.

Terakhir, pada penghujung pekan ketiga itu, Uskup Cape Town Thabo Makgoba datang menjenguk untuk kesekian kali, bercakap dengan Grace dan keluarga serta terus berdoa. Lalu sekonyong-konyong untuk pertama kalinya Madiba diberitakan membuka mata dan tersenyum kepada anaknya, Zindzi, yang sebelumnya membisikkan bahwa presiden Obama akan mengunjungi Afsel.

Madiba adalah korban sejarah buram kemanusiaan. Dia sekaligus merupakan satu dari sedikit negarawan penuh kharisma yang tumbuh dalam belenggu kebencian pendukung Apartheid, namun berhasil memberkaskan sinar untuk sekepal pesan perdamaian bagi umat manusia di seantero muka bumi.

Dengan teladan, Madiba merajut benang kusut ideologis Afsel dan melakukan rekonsiliasi dengan seteru-seterunya yakni para hamba Apartheid yang radikal. Kegigihan dan kebesaran hati untuk menghanguskan dendam demi persatuan ras di Afsel mencuat di belantara politik internasional yang sudah terlanjur menjadi citra kebusukan yang tak lagi pantas diapresiasi mayoritas warga dunia.

Di jaman reputasi ketokohan dunia yang tengah merosot ke titik nadir, maka kredibilitas Madiba dan juga mantan aktivis demokrasi yang kemudian menjadi presiden Korea Selatan Kim Dae-jung (1925-2009) begitu mengemuka sebagai praktisi perdamaian yang meletakkan demokrasi di atas nyawa mereka.

Kedua figur yang naik ke tampuk kekuasaan negerinya itu kebetulan adalah sama-sama aktivis yang tak jera menginap di wisma prodeo rezim otoriter dalam jangka panjang. Mereka kemudian berhasil mengamalkan kematangan penderitaan dengan berbuat kebajikan saat mencapai tampuk kekuasaan.

Madiba bukanlah Robert Mugabe, pejuang yang kemudian menyalahkan kekuasaannya hingga detik ini. Sementara Kim bukanlah Roh Tae-woo, presiden yang menyelingkuhi amanat rakyat Korsel, atau bahkan pengganti Kim, presiden Roh Moo-hyun, yang tewas bunuh diri hanya beberapa bulan setelah Kim tutup usia di Seoul karena sakit.

Kim wafat pada 18 Agustus 2009 dalam usia 83. Dia dikenal sebagai Mandela Dari Timur yang terpilih sebagai presiden Korsel ke-8 (1998-2003). Meraih Nobel Perdamaian pada tahun 2000 dan berhasil membentengi negerinya dari serangan krismon yang menimpa banyak negara dunia ketiga, termasuk Indonesia.

Ketika Kim naik ke tampuk pemerintahan Korsel, Madiba justru telah menetapkan dirinya untuk menjadi warga negara biasa, karena sehabis masa tugasnya pada Juni 1999, dia tak lagi tertarik untuk melanjutkan periode kepresidenannya yang kedua.

Mereka berdua adalah presiden yang nyaris berlatar politik perlawanan yang sama sebagai insan oposisi, dan terpaksa memimpin negeri mereka dalam usia yang tak lagi muda. Namun setelah era mendiang Kim dan juga Madiba kelak, sanggupkah kita menyebut nama-nama negarawan pasca mereka berdua yang pantas disebut sebagai pemimpin yang tertempa kehidupan untuk ditakdirkan memimpin semesta keagungan manusia?

Di salah satu sudut jalan protokol Johannesburg, seorang pelajar SMU bertanya kepada pelatih olahraganya yang sama-sama berkulit putih, ketika konvoi kendaraan presiden demokratis pertama Afsel itu melintas, "Siapa orang itu?". Jawab sang guru dengan sinis, "Dia tak lebih dari seorang teroris. Ingat anak muda, catatlah hari ini sebagai saat dimana negeri kita telah menjadi sederajat dengan anjing".

Scene beraroma rasisme itu merupakan gambaran atmosfir mula-mula dari negeri pasca-Apartheid yang dipimpin Mandela dan menjadi bagian penting dari film "Invictus" (2009, 134 menit) arahan sutradara Clint Eastwood.

Film yang mengisahkan persahabatan Presiden Mandela (diperankan Morgan Freeman) dan kapten tim rugby Afsel Francois Pienaar (Matt Damon) dalam debut sepak terjang tim anak bawang itu meniti tebing terjal untuk kemudian sukses memenangi Kejuaraan Dunia Rugby 1995 yang kebetulan digelar di Afrika Selatan. Kepaduan dan determinasi Pienaar memimpin tim, serta keterlibatan emosi Madiba yang memotivasi tim Afsel membuahkan momentum emas negeri itu. Melalui mulut Freeman yang bermain maksimal sebagai Madiba terlontar kata-kata "Dari tim pelangi inilah, rekonsiliasi negeri kita dimulai".

Freeman mengakui permainan apiknya dalam "Invictus" tak lain karena Madiba memang idolanya, sehingga karakter Mandela terekam sublim dalam aktingnya. Madiba bukanlah idolanya semata. "Dia telah menjadi pujaan seluruh insan merdeka di muka bumi ini. Tanpa memandang primordial, agama dan suku bangsanya", ucap Freeman.

Dan melalui dunia olahraga ini pula sesungguhnya semangat sportivitas dan ketegasan pada prinsip Madiba telah dimulai. Sejak diterungku di pulau Robben yang terpencil pada tahun 1964, Madiba telah memeta ulang "Invictus" yang meletakkan olahraga sebagai alat pemersatu. Medium yang kelak menjadi inspirasi serta determinasi untuk sebentuk rekonsiliasi ideologi demokratis jauh dari sejarah kelam kemanusiaan yang dicatat dengan darah dan airmata kaum kulit hitam Afrika Selatan. Di pengasingan itu, usul Madiba untuk membentuk kompetisi tahunan delapan tim sepakbola para napi ternyata disetujui. Meskipun hanya sempat berlangsung sekitar empat tahun, namun refleksi persatuan dari setiap gol yang tercipta perlahan-lahan melunturkan paham Apartheid yang ekslusif.

Pulau Robben sekarang dijadikan simbol pembebasan. Dia dinyatakan sebagai situs Warisan Dunia. Pulau yang terletak 9 km dari Cape Town dengan pegunungan Minto sebagai lokasi tertinggi di pulau yang memiliki satu mercusuar tertua di kawasan yang kini telah berubah fungsi menjadi museum. Pulau ini sempat menjadi lokasi transisi untuk pendaratan Vasco da Gama pada tahun 1498 sebelum menjadi penjara, dan koloni pengasingan para penderita kusta.

Di pulau dengan penjagaan sangat ketat itu, Madiba dijeruji dengan bengis. Dia tak boleh membaca, tak diberi alat tulis. Namun dalam memoar yang ditulisnya di bui dengan kertas dan pena selundupan dari para sahabatnya, kita serasa juga mendekam di penjara yang tak menyisakan kebebasan bahkan untuk sejengkalpun berkas matahari pagi. Di sel kecil Mandela yang perabotan serta isinya dibiarkan utuh sebagai artefak museum itu, Madiba diperlakukan seperti binatang. Dia pernah digantung terbalik. Lalu kepalanya dikencingi oleh para penjaga penjara.

Madiba dibiarkan merana dan disiksa batinnya, termasuk saat mendengar anak tertuanya tewas dalam suatu kecelakaan yang disinyalir merupakan intrik pemerintahan Apartheid. Sipir penjara bergeming tak mengijinkan sang ayah untuk berkumpul dengan keluarga untuk memakamkan Thembi, darah dagingnya sendiri.

Madiba diberi nomor registrasi 466 dan karena dia ditahan tahun 1964 maka nomor tahanan resminya adalah 46664. Nomor itulah yang digunakan panitia sebagai tajuk konser global di Hyde Park London memperingati 90 tahun Madiba. 20 tahun sebelumnya di stadion Wembley London dengan partisipan antaranya Sting, mendiang Whitney Houston, Dire Straits dan Eurythmics pernah diadakan konser menuntut pembebasan bagi Madiba yang digelar pada tepat pada peringatan HUT-nya yang ke-70. Hingga detik ini dalam penderitaan sakitnya, kecintaan masyarakat dan dunia pada Madiba tak luntur. Suatu penghormatan yang layak bagi orang seagung Mandela.

Di Robben, pada periode 1968-1976, Madiba diam-diam bersahabat dengan seorang staf sensor surat penjara berkulit putih bernama Gregory James. Persahabatan mereka membuahkan sebentuk saling pengertian yang sangat bermakna bagi keduanya. Sayangnya pada tahun 1976, Gregory dimutasi karena kepala penjara yang baru tak menginginkan dia bertahan di sana. Persahabatan mereka terberaikan. Namun refleksi persahabatan tak lekang hanya oleh kendala teknis. Saat Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama yang dipilih secara demokratis, dia mengundang Gregory untuk duduk hadir di tribun kehormatan menyaksikan seremoni peresmian sebentuk negeri Afsel yang baru. Republik yang kebijakannya dirancang dengan kematangan yang diperoleh Madiba dari ruang sel yang pengap dan ketabahan yang luarbiasa menghadapi kebengisan dan rasa benci orang-orang rasis pendukung Apartheid atas dirinya. Seorang aktivis kemerdekaan berkulit hitam yang buyutnya juga pernah di penjara di Robben karena menentang pemerintahan yang didominasi orang-orang kulit putih.

Dalam awal masa kepresidenannya Mandela berhasil menerbitkan transkrip surat-surat yang diselendupkan keluar dari pulau Robben itu dengan tajuk "Long Walk to Freedom" (1994, Little Brown & Co). Otobiografi yang berisi 27 tahun keberadaannya di penjara Robben itu segera menjadi box-office internasional. Dari sana kita belajar betapa jejak-jejak penyiksaan ternyata hanya membentuk karakter ketokohan seseorang menuju kematangan identitas perjuangannya. Juga menjejak bagaimana Madiba merefleksikan semua derita itu untuk memakamkan kebencian dan menumbuhkan sekuntum cinta seperti yang juga pernah dilakukan Mahatma Gandhi untuk memerdekakan India. Cinta yang kelak memadamkan angkara rezim apartheid. Jika majelis umum PBB telah menetapkan tanggal 18 Juli sebagai Hari Mandela Internasional dan keajaiban masih diberikan bagi seorang Madiba, maka seperti ucapan Jacob Zuma, mari kita rayakan semangat ulang tahun Mandela untuk mendedikasikan hidup kita demi kepentingan kemanusiaan.

Mungkin dalam impiannya untuk kembali ke rumah, Mandela teringat pada perjuangan Gandhi, pengacara muda yang memulai gerakannya dari Afsel, serta kilasan bait demi bait sajak "Invictus", karya pujangga favoritnya, William Ernest Henley 1849-1902. Puisi yang selalu melekat dalam benak sanubari Madiba dan memberkaskannya untuk menjadi renungan bagi kita semua.

Out of the night that covers me
Black as the Pit from pole to pole
I thank whatever Gods may be
For my unconquerable soul

In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud
Under the bludgeonings of chance
My head is bloody, but unbowed

Beyond this place of wrath and tears
Looms but the Horror of the shade
And yet the menace of the years
Finds, and shall find, me unafraid

It matters not how strait the gate
How charged with punishments the scroll
I am the master of my fate
I am the captain of my soul


oscar motuloh

Foto: Seorang pemberi selamat terpantul pada kaca bingkai foto yang ditinggalkan di depan rumah sakit tempat mantan presiden Afsel Nelson Mandela dirawat di Pretoria, Selasa (16/7) (REUTERS/Mike Hutchings)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 20/07/2013 08:16