BALADA SUKU KODI, SUKU ASLI SUMBA

Seorang pemuda meminum air bersih dari wadah penampungan di Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Seorang anak Kampung Hirukawango melintas di dekat perahu katinting yang bersandar di bibir pantai Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Tiga baskom berisikan peralatan mandi dan kail cumi-cumi milik anak-anak Kampung Hirukawango terpajang dipinggir pantai, Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Warga Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karoso berjalan beriringan membawa ember untuk mengambil air bersih di tempat penampungan desa tetangga, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Sejumlah anak Kampung Hirukawango bermain di bibir pantai Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Suasana Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Kondisi salah satu rumah yang terpasang alat tenaga surya Solar Cell di Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Kepala kampung Hirukawango Yohanes Ramore (kiri bawah) bersantai bersama keluarganya di rumah adat, Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Seekor anjing tertidur di teras rumah berlantai bambu di Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Sejumlah ibu beserta anaknya berjalan dari Posyandu menuju Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Potret seorang anak perempuan usai pulang sekolah di Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karoso, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Sejumlah penduduk beraktivitas di depan teras rumah di Kampung Hirukawango, Desa Tanjung Karos, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.

Kampung Hirukawango terletak di Desa Tanjung Karoso ditempuh sekitar dua jam perjalanan darat berjarak 85 kilometer dari Tambolaka, Kota Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia.

Kampung tersebut merupakan salah satu daerah tertinggal di Provinsi NTT. Mayoritas penduduknya bersuku Kodi, suku asli Sumba. Sebagian besar dari mereka memiliki belum memperoleh akses pendidikan yang memadai, sehingga tingkat pendidikan yang masih rendah bahkan belum terlalu fasih dalam berbahasa Indonesia.

Setidaknya 22 rumah di kampung yang dihuni lebih dari tiga puluh orang Kepala Keluarga (KK) dan masih satu rumpun antara satu suku dengan lainnya. Sejak pemerintah membuka program pendidikan gratis, beberapa anak akhirnya bisa bersekolah.

Kondisi tempat tinggal mereka juga masih sederhana, rumah beratap alang-alang, berlantai dan berbilik bambu dibalut rotan kemudian ditopang kayu hutan sebagai tiang utama. Ketersediaan air bersih hanya dipasok mobil tanki PAM setempat yang datang seminggu sekali untuk membagikan air bersih kepada warga, jika mobil tangki tidak datang mereka harus mencari air yang berjarak berkilometer di kampung lain.

Untuk penerangan di malam hari kini masyarakat bisa menikmati lampu listrik bantuan Pemda setempat yang bersumber pada dua alat tenaga surya ‘solar cell’ yang kini terpasang di atap rumbia rumah.

Kepala kampung Hirukawango, Yohanes Ramore (61) mengaku pangan utama dihasilkan dari berkebun ubi, jagung dan bertani padi kering yang hanya bisa ditanami satu kali setahun di kala musim penghujan, beruntung pemerintah setempat masih memberi jatah beras untuk warga miskin tiga bulan sekali.

Sebenarnya potensi alam di sekitar kampung tersebut sangat besar untuk dikembangkan, karena tidak jauh dari kampung tersebut terletak pantai indah yang masih satu kawasan tanah adat. Namun sayangnya kini sebagian besar kawasan itu telah dikuasai investor swasta yang ingin mengembangkan kawasan itu.

Pemda setempat mengakui lahan sepanjang pesisir pantai seluas 96 kilometer di Kabupaten yang baru mekar pada 2011 lalu itu, 80 persen sudah dikuasai investor asing maupun lokal secara legal. Jika investor swasta dan Pemda setempat didak melibatkan warga setempat untuk mengembangkan wilayah itu, tidak mustahil warga yang merupakan suku asli akan makin terdesak.

Foto dan Teks: Darwin Fatir

Pewarta: Darwin Fatir | Editor:

Disiarkan: 09/03/2016 12:00