NELAYAN-NELAYAN TERAKHIR SABIRA
Sabira, sebuah pulau paling utara dari gugusan Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta di tengah Laut Jawa. Hampir seluruh warga pulau itu merupakan Suku Bugis, suku asli Pulau Sulawesi yang sebenarnya terletak lebih dari 1.000 kilometer dari DKI Jakarta.
Masyarakat Suku Bugis telah menghuni pulau yang kini berpenduduk sekitar 600 jiwa itu sejak 1970-an.
“Perairan laut sekitar Sabira yang kaya ikan selar, tenggiri, bawal, dan baronang, menjadi alasan kami datang ke sini,†kata Hartati (81), salah satu penduduk pertama setempat. Seperti kebanyakan perantau Bugis ke berbagai wilayah pesisir Indonesia, masyarakat Sabira pun menggantungkan hasil laut sebagai mata pencaharian.
Seakan menegaskan darah sebagai pelaut yang diwariskan nenek moyangnya, nelayan menjadi satu-satunya profesi masyarakat Bugis di pulau berjuluk Sang Penjaga Utara itu selama bertahun-tahun.
Namun, kondisi tersebut berubah medio tahun 2000-an. Hari demi hari jumlah nelayan di Sabira terus berkurang. “Sebelum tahun 2000-an dermaga dipenuhi 55 kapal nelayan, tetapi kini jumlahnya tak lebih dari 15,†kata Hartati.
Harga dan hasil tangkapan ikan yang tak menentu karena faktor alam, serta kesejahteraan nelayan yang tak kunjung membaik menyebabkan berkurangnya nelayan Sabira. Terus menurunnya minat anak-anak muda menjadi anak buah kapal (ABK) pun memperparah kondisi.
“Mereka lebih memilih bekerja merantau di Jawa maupun pulau-pulau lainnya,†kata Ali Kurniawan, ketua RW setempat. Kini nelayan-nelayan yang tersisa di Sabira terpaksa mencari ABK hingga Lampung, Jawa, bahkan Sulawesi.
Di sisi lain, adanya tawaran menggiurkan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membuka lowongan pekerjaan pelayanan publik, membuat masyarakat Sabira mulai melirik alternatif lain.
Pendapatan tetap setara upah minimum rata-rata (UMR) DKI Jakarta atau sekitar Rp4,4 juta per bulan membuat para nelayan dan ABK beralih bekerja di Dinas Perhubungan, Dinas Lingkungan Hidup, Petugas Penanganan Prasarana Umum (PPSU), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), hingga Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik.
Salah satu nelayan yang tersisa, Nur Ali (45) pesimistis profesi nelayan yang menjadi "DNA" masyarakat Bugis di Sabira akan terus bertahan bila kondisinya belum membaik di Sabira. Bisa jadi, Nur Ali dan segelintir nelayan lain yang masih tersisa menjadi generasi terakhir Bugis di Sebira yang mewarisi darah pelaut nenek moyangnya.
“Saya pun tidak ingin anak-anak melanjutkan profesi saya sebagai nelayan yang penghasilannya tidak menentu ini,†kata dia.
Oleh karena itu, Nur menyekolahkan salah satu anaknya ke Madrasah Aliyah Negeri di Jakarta Utara dan salah satunya lagi di perguruan tinggi di Malang, Jawa Timu agar kehidupan keluarga mereka dapat membaik kelak.
“Biar pahitnya bekerja di lautan cukup orang tua yang rasakan, anak-anak kami jangan,†kata Nur Ali.
Foto dan teks : Aditya Pradana Putra
Editor : Fanny Octavianus
Pewarta: Aditya Pradana Putra | Editor:
Disiarkan: 11/08/2021 20:35