Mengakhiri masa berkabung ala masyarakat Mentawai

Seorang Sikerei mencari dedaunan untuk pelaksanaan ritual upacara adat
Sejumlah Sikerei menyiapkan dedaunan dalam upacara adat Punen Eeruk
Seorang Sikerei membawa daun-daun dalam ritual upacara adat Punen Eeruk
Warga membawa seekor babi untuk disembelih saat upacara adat Punen Eeruk
Sejumlah Sikerei menjalankan ritual di depan seekor babi yang akan disembelih pada upacara Punen Eeruk
Seorang Sikerei merias wajahnya jelang upacara adat Punen Eeruk
Sejumlah Sikerei melakukan ritual pemanggilan roh dalam rangkaian upacara adat Punen Eeruk
Seorang Sikerei kesurupan saat mengikuti atraksi Turuk Laggai dalam rangkaian upacara adat Punen Eeruk
Sikerei membagikan daging babi yang sudah dibakar sebagai permulaan menggelar ritual
Sejumlah Sikerei melakukan ritual pemanggilan roh dalam rangkaian upacara adat Punen Eeruk
Jejak kaki dan tangan yang sudah meninggal dipajang di rumah untuk mengenang anggota keluarga yang sudah meninggal
Istri-istri Sikerei mengenakan hiasan dan pakaian bagus dalam rangka mengakhiri masa berkabung

 

 

Suara gajeuma menembus malam, setiap biramanya mencapai empat ketukan dengan tempo 140 detak per menit. Alat pukul khas yang terbuat dari kulit ular piton dan biawak itu dimainkan oleh tiga pemain di sebuah Uma, rumah panggung tradisional Mentawai, sementara yang lain memukul botol kosong dengan sendok untuk menciptakan harmoni.

 

Hentakan kaki dari empat orang Sikerei di lantai kayu mengisi kekosongan ketukan, mereka menari sambil bersenandung, sesekali memicingkan mata dan mengembangkan tangannya serupa sayap. Rokok tembakau berdaun pisang masih tergantung di bibir.

 

Di tangan mereka terselip dedaunan, begitu juga pada ikat kepala dan kalung, sedangkan di pinggang terikat kain sabok menutupi kabit. Salah seorang Sikerei memegang Umat Simagrek, seruas bambu yang ujungnya terdapat dedaunan panjang menjuntai, digunakan untuk memanggil roh yang berkelana.

 

Pada setiap ritual, mereka akan menggunakan dedaunan di sekitar tempat tinggal. Mereka percaya daun-daun tersebut dapat menjadi perantara kepada Sang Pencipta dengan sebutan Ulau Manua.

 

Malam itu digelar Turuk Laggai, tarian tradisional dalam rangkaian upacara memperingati kematian. Tarian itu menyerupai gerakan hewan di lingkungan yang mereka tempati dan mereka jadikan santapan, namun dalam hal lain mereka terus menjaga pertumbuhannya.

 

Rangkaian-rangkaian ritual tersebut dalam rangka Punen Eeruk, sebuah pesta adat besar atau upacara yang diadakan oleh masyarakat Mentawai, khususnya di pedalaman Siberut, untuk menghormati dan mengakhiri masa berkabung anggota keluarga yang meninggal dunia. 

 

Punen Eeruk juga merupakan bagian dari kepercayaan Arat Sabulungan, yakni kepercayaan tradisional masyarakat Mentawai yang meyakini bahwa roh dan arwah menghuni seluruh alam, termasuk tumbuhan, hewan, tanah, dan benda-benda.

 

Dalam keyakinan Masyarakat tradisional Mentawai, kematian atau kamateijat merupakan sebuah peristiwa peralihan dari tahap akhir kehidupan di alam nyata menjadi tahap baru dari kehidupan di alam baka.

 

Sesuai kepercayaan mereka, meskipun raga seseorang sudah tidak ada ketika meninggal dunia namun rohnya akan tetap hidup meskipun hanya di alam gaib. Masa peralihan ini harus diiringi dengan upacara adat yang dilakukan oleh keluarga dan seluruh anggota uma (rumah Mentawai) dari seseorang yang  telah meninggal dunia tersebut.

 

Punen Eeruk diawali dengan memperbaiki Uma, seperti lantai dan atap yang diperbarui. Keluarga yang berkabung memilih mengganti atap dengan daun sagu yang baru di rumah mereka di Dusun Onga, Desa Matotonan, Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

 

Persiapan kemudian dilanjutkan dengan menangkap babi di kandang untuk disembelih. Saat itu ada enam ekor babi yang dipersembahkan di atas Uma.

 

Hari itu ritual Pasibelek dijalankan, yakni ritual pemanggilan roh dan dilanjutkan dengan Pasibitbit atau ritual pembersihan pada malam hari yang diakhiri dengan Turuk Laggai.

 

Keesokan harinya akan digelar upacara besar. Empat orang Sikerei atau dukun tradisional Mentawai, yakni Teu Legei, Aman Letuk, Aman Lipat, dan Hariyadi membongkar tasnya mengeluarkan aksesoris dan merias wajah mereka dengan tinta merah dan hitam. Mereka bersiap menjalankan upacara besar meliputi paeruk, ritual pemujian dan penyembelihan babi dan ayam.

 

Meskipun melepas masa berkabung, tapi Paulus Sabbagalet tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya saat Sikerei bersenandung dan mengolesi rambuan-ramuan khusus dalam upacara tersebut. Ia masih teringat ayahnya semasa hidup.

 

Selama masa berkabung, keluarga yang ditinggalkan akan melakukan beberapa tradisi simbolis, seperti melepas perhiasan manik-manik yang biasanya mereka pakai sehari-hari dan tidak mengenakan pakaian bagus.

 

Hal itu dilakukan sebagai tanda bahwa mereka merasa kehilangan secara mendalam terhadap keluarganya yang telah meninggal.

 

Dengan mengakhiri rasa berkabung, keluarga dapat kembali menggunakan manik-manik dan perhiasan sehari-hari, mereka sudah bebas dan tidak ada lagi beban mengingat masa lalu.

 

Selama tiga hari tiga malam, Uma milik Paulus itu senantiasa ramai, terutama saat malam di mana senandung-senandung Sikerei terdengar hingga ke hulu sungai Sarereiket. Malam keempat, rumah itu sepi dan orang-orang di dalamnya kembali ke rutinitas meskipun samar-samar masih terdengar sisa bunyi gajeuma.

 

Foto & Teks : Iggoy el Fitra

Editor : Zarqoni Maksum

Pewarta: Iggoy El Fitra | Editor:

Disiarkan: 16/10/2025 10:11