Meraup nilai ekonomi dari serat daun nanas
Mentari pagi menyentuh ufuk timur, mengusir selimut kabut tipis di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Udara dingin diisi oleh perpaduan sempurna antara aroma embun, tanah basah, dan wangi khas daun nanas. Samar-samar terdengar deru konstan mesin dekortikator dari sebuah rumah produksi yang mengolah serat daun nanas.
Kesibukan para pekerja mulai tampak. Mereka mulai memisahkan serat dari limbah daun nanas yang sebelumnya telah disortir menggunakan mesin itu. Setelah serat terpisah, selanjutnya para pekerja mencuci dan menjemur serat itu di bawah panas matahari hingga serat kering atau kadar air di bawah 13 persen. Di sudut lainnya, pekerja yang didominasi ibu-ibu dengan cekatan menenun dan memintal serat yang telah melewati proses pemeriksaan kualitas (quality control) menjadi berbagai kerajinan.
Gambaran rutinitas itulah yang dilakukan setiap hari di rumah produksi pengolah serat daun nanas di Desa Cikadu, Kecamatan Cijambe, Kabupaten Subang, yang berusaha memberikan nilai lebih pada limbah daun nanas. Alan Sahroni, pemilik dari rumah produksi itu menyatakan kisah perjalanannya bermula pada tahun 2013. Saat itu, ia melihat potensi nanas di daerahnya belum dimanfaatkan secara optimal.
"Kita tahu kalau Kabupaten Subang sudah terkenal menjadi salah satu penghasil buah nanas terbesar di Jawa Barat bahkan di Indonesia. Namun, sebagian besar petani hanya menjual serta mengolah buahnya saja," kata Alan Sahroni.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Subang tahun 2025, sekitar 185.832 ton buah nanas dihasilkan per tahunnya dari lahan produktif yang mencapai 1.635 hektare. Namun setelah panen usai, limbah daun nanas pada umumnya dibuang dan dibiarkan membusuk bahkan tak jarang dibakar oleh petani.
Akhirnya, pria lulusan teknik tekstil di salah satu perguruan tinggi ini mencoba untuk mengolah limbah daun nanas tersebut menjadi produk bernilai ekonomi. "Limbah daun nanas memiliki nilai fungsi dan nilai ekonomis, petani pun tersenyum karena mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual limbah daun itu," ujar Alan.
Rumah produksi tersebut telah memberdayakan masyarakat sekitar untuk mengolah 3,2 ton limbah daun nanas menjadi 50-60 kilogram serat daun nanas setiap bulannya. Serat tersebut kemudian dijadikan berbagai produk eco-fashion seperti benang, topi, tas makrame, dompet, selendang serta pernak-pernik menarik lainnya.
Dari segi penjualan, rumah produksi itu juga memanfaatkan jaringan internet dan digitalisasi dengan memasarkan produk di berbagai lokapasar (e-commerce). Alhasil, beragam produk tersebut dapat terjual ke hampir seluruh daerah di Indonesia dengan harga mulai dari Rp95 ribu - Rp600 ribu. Bahkan, di rentang tahun 2021 - 2022, produk olahan limbah daun nanas tersebut mulai berhasil menembus pasar ekspor ke sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Jerman dan Belanda dengan omzet mencapai ratusan juta.
Selain menjadi tempat pengolahan, rumah produksi itu menjadi sarana edukasi inovasi berkelanjutan yang seringkali dikunjungi oleh pelajar, mahasiswa, pengusaha hingga perangkat daerah yang ingin belajar dan melakukan penelitian.
Secarik kisah ini merupakan pembuktian bahwa tidak ada yang sia-sia di bumi ini, bahkan dari limbah sekalipun. Dengan memanfaatkan pengetahuan, teknologi dan digitalisasi, pelaku usaha mampu meraup berkah dari limbah sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan yang menggerakkan roda perekonomian di daerahnya.
Foto dan teks: Abdan Syakura
Editor: Akbar Nugroho Gumay
Pewarta: Abdan Syakura | Editor:
Disiarkan: 13/11/2025 08:05