Armani, sang penjaga lentera ilmu di pelosok Pandeglang
Rintik hujan masih mewarnai pagi di Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Namun, seorang guru berama Armani pantang surut semangatnya menempuh jarak 15 kilometer dari rumahnya menuju sekolah tempat ia mengajar di Kampung Batu Payung, Desa Sorongan, Cibaliung, Pandeglang.
Telah 17 tahun sarjana ekonomi salah satu kampus swasta di Jakarta tersebut menjalani hari sebagai guru di SD Negeri Sorongan 2 kelas jauh. Selama 17 tahun itu pula Armani menempuh perjalanan yang tak mudah untuk bisa membimbing anak-anak di pelosok Pandenglang ini dalam meraih ilmu.
Meski hanya berjarak 15 kilometer, butuh waktu satu jam untuk Armani melalui perjalanan ke sekolah. Medan jalan yang terjal untuk dilalui sepeda motor tuanya, dan jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan membuat perjalanan Armani tidak mudah. Apalagi mendekati lokasi sekolah tersebut ada Sungai Cisuakan yang harus diseberangi tanpa jembatan.
“Terkadang saya harus meliburkan sekolah saat arus sungai deras setelah hujan deras,” kata guru yang baru saja diangkat sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Penuh Waktu Kabupaten Pandeglang pada 2022 itu.
Bagi Armani, mengajar sudah menjadi panggilan Tuhan untuknya. Medan sulit yang tiap hari ia tempuh itu bagi Armani bukan apa-apa disbanding dengan harapan besar 23 anak-anak di Kampung Batu Payung yang membutuhkan ilmu untuk masa depan.
Kini ada 23 siswa dari kelas satu hingga kelas enam SD yang ia ajar secara bergantian dalam satu ruangan kelas. Dengan keterbatasan fasilitas, mereka harus berbagi ruangan kelas setiap hari belajar.
Gedung sekolah yang kini berdiri adalah saksi bisu transformasi dari masa ke masa. Di bawah naungan gubuk swadaya masyarakat sejak tahun 2008 yang jauh dari kata layak. Barulah pada tahun 2017, pemerintah mendirikan satu ruangan permanen yang menjadi istana ilmu meskipun temboknya hanya berlapis dengan papan kayu saja.
Namun kini, di tahun 2025, kondisi fisik ruang kelas pun kian memprihatinkan dan tak ada uluran bantuan perbaikan. Lantai yang dulu putih kini telah kehilangan kemilaunya, atap yang bolong-bolong membiarkan air hujan masuk dan dinding berlapis kayu yang sudah lapuk dimakan usia.
Ketiadaan listrik menambah daftar panjang keterbatasan. Saat mendung tebal menggelayut dan hujan turun deras, ruang kelas berubah menjadi gua. Anak-anak kesulitan membaca tulisan di buku mereka sendiri. Bahkan sebagian siswa terpaksa maju berdesakan ke depan papan tulis hanya untuk menyalin materi pelajaran.
“Alhamdulillah, 85 persen anak didik saya sudah lancar membaca dan berhitung. Sisanya, satu atau dua anak yang masih terbata-bata, bukan karena malas, melainkan karena kendala kemampuan belajar yang sedikit lambat disini,” kata Armani.
Armani berharap perhatian lebih pemerintah dapat hadir ke sekolah dan murid-muridnya. “Alasan saya bisa bertahan selama 17 tahun ini adalah demi anak-anak di pelosok ini bisa membaca, berhitung, dan punya sayap untuk terbang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengubah nasib mereka dan kampung halamannya,” kata Armani.
Foto dan teks: Bagus Khoirunnas
Editor: Wahyu Putro A
Pewarta: Bagus Khoirunnas | Editor:
Disiarkan: 25/11/2025 21:43