Bayang - bayang banjir Aceh Tamiang
Saya tiba di Aceh Tamiang tak lama setelah banjir bandang surut. Pemandangan kota yang berantakan akibat tersapu banjir bandang yang langsung menyesakkan dada bagi siapapun yang melihatnya. Kota ini lumpuh, begitulah kesan yang saya tangkap.
Jalan penuh lumpur, seluruh bangunan rusak parah bahkan banyak di antaranya sudah hilang tak tersisa, dan pada malam hari tanpa cahaya. Warga terlihat kelelahan dan penuh harap mendapatkan bantuan, meski sekadar untuk mengganjal perut mereka yang kelaparan. Perasaan siapa yang tidak tersentuh, apabila pemandangan seperti ini menjadi bagian dalam keseharian selama dua pekan ada di kabupaten ini.
Banjir bandang akibat siklon tropis Senyar pada akhir November 2025 menghantam sejumlah wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia, dampak terparah dirasakan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Aceh Tamiang menjadi salah satu yang terparah. Setidaknya, berdasarkan data BPBD setempat per 13 Desember 2025, jumlah warga Aceh Tamiang yang meninggal dunia akibat banjir bandang mencapai dengan 66 jiwa dan 208.163 jiwa masih mengungsi.
Putusnya sejumlah jembatan dan akses jalan raya menuju ke kabupaten tersebut baikdari Medan maupun dari Banda Aceh, sempat membuat Aceh Tamiang terisolasi. Kondisi itu diperparah nyaris seluruh jalan di kabupaten itu tertutup lumpur sehingga sulit dilalui. Hal ini tentu menyebabkan pasokan distribusi logistik bantuan maupun BBM kesulitan menjangkau Aceh Tamiang.
Akibatnya, berhari-hari masyarakat setempat kelaparan. Pemandangan seperti warga korban perang di Gaza Palestina yang berebutan saat bantuan tiba. Bantuan akhirnya datang lewat udara melalui helikopter TNI AU dan dijatuhkan ke tanah, orang-orang berlarian tertatih menuju titik pendaratan. Mereka menggenggam kotak bantuan yang seolah menjadi napas baru.
Berada di dataran rendah dan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS)Tamiang, wilayah ini memang rawan banjir. Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2024 menempatkan Aceh Tamiang dalam kategori risiko tinggi.
Bagi warga, banjir bandang telah menjadi ingatan kolektif sejak 2006. Namun, kali ini sungai datang dengan amarah berbeda dengan membawa lumpur pekat dan kayu gelondongan dari hulu, menghantam rumah dan merobohkan jembatan.
“Bedanya dengan 2006, dulu hanya air. Sekarang kayu dan lumpur ikut menghantam,” kata Jamaliah, penyintas banjir Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh.
Selama berada di lapangan, kegelisahan lain ikut mengemuka. Banyaknya kayu gelondongan yang terbawa arus memunculkan kekhawatiran warga akan rusaknya kawasan hutan di hulu.
“Curah hujan tinggi dan kondisi hutan yang rusak membuat longsor terjadi. Kayu ikut terseret banjir,” ujar Weldian Syaputra, penyintas banjir Desa Tanjung Karang, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh.
Banjir bandang ini meninggalkan luka dan kegelisahan. Pemulihan Aceh Tamiang tak hanya soal membangun kembali bangunan, tetapi memulihkan sungai, hutan, dan rasa aman agar warga tak terus hidup dalam bayang-bayang bencana di masa mendatang.
Foto : Erlangga Bregas Prakoso
Editor : Yusran Uccang
Pewarta: Erlangga Bregas Prakoso | Editor:
Disiarkan: 21/12/2025 12:40